Friday, June 24, 2016

Laporan praktikum Kimia Fisik Analitik (Kitik) Redoks



Yoga Jati Pratama
240210140003
Kelompok 1A Universitas Padjadjaran

IV. PEMBAHASAN

Oksideimetri adalah salah satu metode titirimetri yang larutan bakunya adalah larutan yang bersifat sebagai pengoksidasi. Jadi pada oksidimetri zat yang dapat ditentukan jumlah/kadarnya adalah zat yang bersifat sebagai pereduksi saja (Bassett, J. dkk., 1994).
Titrasi ini didasarkan pada reaksi reduksi oksidasi, maka sering disebut juga titrasi redoks. Menurut Khopkar (2003), Istilah oksidasi mengacu pada setiap perubahan kimia dimana terjadi kenaikan bilangan oksidasi, sedangkan reduksi digunakan untuk setiap penurunan bilangan oksidasi. Berarti proses oksidasi disertai hilangnya elektron sedangkan reduksi memperoleh elektron. Oksidator adalah senyawa di mana atom yang terkandung mengalami penurunan bilangan oksidasi. Sebaliknya pada reduktor, atom yang terkandung mengalami kenaikan bilangan oksidasi. Oksidasi-reduksi harus selalu berlangsung bersama dan saling menkompensasi satu sama lain. Istilah oksidator reduktor mengacu kepada suatu senyawa, tidak kepada atomnya saja.
Reduksi–oksidasi adalah proses perpindahan elektron dari suatu oksidator ke reduktor. Reaksi reduksi adalah reaksi penangkapan elektron atau reaksi terjadinya penurunan bilangan oksidasi. Sedangkan reaksi oksidasi adalah pelepasan elektron atau reaksi terjadinya kenaikan bilangan oksidasi. Jadi, reaksi redoks adalah reaksi penerimaan elektron dan pelepasan elektron atau reaksi penurunan dan kenaikan bilangan oksidasi.
Berdasarkan jenis larutan baku yang digunakan, dikenal adanya permanganimetri, dikhromatometri, cerrimetri, iodometri dan iodimetri (Bassett, J. dkk., 1994). Jenis titrasi redoks yang dilakukan saat praktikum adalah permanganimetri dan iodometri.

4.1 Permanganimetri
U, V
 
            Permanganimetri adalah titrasi redoks yang menggunakan larutan baku KMnO4. KMnO4 adalah zat padat berwarna ungu gelap, mudah larut dalam air, dalam keadaan kering dan ada cahaya matahari, KMnO4 dapat terurai :
2 KMnO4                 K2MnO4 + MnO2 + O2
Penguraian ini akan berlangsung lebih cepat pada suhu tinggi, oleh karena itu hampir sukar mendapatkan KMnO4 murni apalagi setelah tersimpan agak lama (Bassett, J. dkk., 1994). Hal tersebut merupakan alasan larutan  KMnO4 harus distandarisasi terlebih dahulu sebelum digunakan untuk menetapkan kadar zat lain.
            KMnO4 pada permanganimetri akan mengalami reduksi dan karena reaksinya selalu dilakukan dalam suasana asam kuat, maka persamaan reaksinya adalah :
MnO4- + 8 H+ + 5 e             Mn2+ + 4 H2O
dan dari reaksi ini terlihat bahwa setiap molekul MnO4- melibatkan 5 e sehingga :
Berat ekivalen (BE) KMnO4 = MR KMnO4 : 5
                                                                           = 158 : 5 = 31,6  
            Tidak diperlukan tambahan indikator pada permanganimetri karena warna merah ungu dari larutan KMnO4 sendiri dapat berfungsi sebagai indikator (autoindikator), pada permanganimetri larutan KMnO4 selalu akan mengalami reaksi reduksi dengan reaksi:
MnO4- + 8 H+ + 5 e             Mn2+ + 4 H2O
                           Merah ungu                             tak berwarna (bening)
Peniteran larutan KMnO4, selama pereduksi atau larutan yang dititrasi masih ada, akan segera mereduksinya dan warna MnO4- segera hilang. Saat pereduksi tepat habis, jadi saat TE dicapai, tetes terakhir KMnO4 tidak tereduksi lagi sehingga warna larutan reaksi akan berubah menjadi merah ungu (Bassett, J. dkk., 1994).
4.1.1 Standarisasi KMnO4 terhadap N2C2O4 0,1 N
            Zat baku primer yang dapat digunakan dalam standarisasi larutan baku KMnO4 adalah natrium oksalat ( N2C2O4.2H2O), natrium oksalat ( Na2C2O4), dan arsen trioksida (As2O3) (Bassett, J. dkk., 1994). Zat baku primer yang digunakan saat praktikum adalah natrium oksalat ( Na2C2O4), pada reaksinya natrium oksalat ini akan mengalami reaksi oksidasi :
Na2C2O4           2CO2 + 2Na+ + 2e
dan karena setiap molekul asam melibatkan 2 elektron, maka :
Berat ekivalen (BE) asam oksalat = MR Na2C2O4.2H2O : 2
                                                                          = 126 : 2 = 63
Standarisasi KMnO4 dilakukan dalam suasana asam dan panas. Suasana asam didapatkan dengan penambahan H2SO4 sebelum titrasi. Titrasi ini harus dalam suasana asam karena:
a.       Daya oksidasi KMnO4 dalam suasana asam lebih kuat
b.      KMnO4 dapat bertindak sebagai autoindikator hanya dalam suasana asam.
c.       Dalam suasana netral terbentuk MnO2, endapan berwarna cokelat yang mengganggu titik akhir titrasi.
MnO4- (aq) + 2 H2O(l) + 3 e               MnO2 (s) + 4 OH- (aq)
                           Merah ungu                                   endapan coklat
            Pemanasan dilakukan untuk mempercepat reaksi. Menurut Bassett, J. dkk. (1994), reaksi natrium oksalat dengan KMnO4 berjalan agak lambat karena itu untuk mempercepat reaksinya, titrasi dilakukan dengan suhu larutan natrium oksalat agak tinggi (55-65° C).  Reaksi yang berlangsung saat titarsi yaitu:
2MnO4- + 5 C2O42- + 16 H+              2 Mn2+ + 2 CO2 + 8 H2O
              Merah ungu                                    tak berwarna (bening)
            Titik akhir ditunjukkan dengan adanya MnO4- yang sudah tidak bisa tereduksi lagi, secara visual hal ini ditandai dengan terbentuknya warna merah yang permanen. Selain itu, tetes pertama larutan KMnO4 lambat sekali bereaksi tapi tetes-tetes berikutnya akan beraksi makin cepat. Hal ini disebabkan karena Mn2+ yang terbentuk pada reaksi sebelumnya berfungsi sebagai katalis untuk reaksi berikutnya. Penetesan KMnO4 harus dilakuakn setelah warna MnO4- tetes sebelumnya hilang (Bassett, J. dkk., 1994). Berikut merupakan hasil titrasi standarisasi KMnO4 yang dilakukan:
Tabel 1. Data Titrasi 10 ml Na2C2O4 0,1 N oleh larutan KMnO4
Kelompok
V. KMnO4 (ml)
N. KMnO4 (N)
6
4,1 ml
0,2439
7
3,2 ml
0,3125
8
3,3 ml
0,303
9
3,4 ml
0,294
10
3,3 ml
0,303
Rata-rata
3,46
0,1947
              (Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2015)
Perhitungan standarisasi KMnOkelompok 6:
        
Nilai normalitas yang didapatkan dari kelima kelompok menunjukan hasil yang tidak mendekati literature yaitu 0,1 N.
Kesalahan analisis yang mungkin terjadi pada titrasi ini adalah pada suhu agak tinggi KMnO4 dapat mengurai dan karena kemungkinan penguraian ini jumlah/volume larutan KMnO4 yang diperlukan menjadi lebih tinggi dari seharusnya (Bassett, J. dkk., 1994). Kemudian kesalahan dapat disebabkan juga oleh larutan peniter yaitu KMnO4 yang disimpan pada biuret sudah cukup lama terkena cahaya matahari maka akan terurai menjadi MnO2 sehingga pada titik akhir titrasiakan terjadi pembentukan presipitat coklat, dan seharusnya adalah larutan berwarna merah, Hal ini dapat dicegah dengan menggunakan buret gelap atau membungkus buret dengan alufo atau plastic gelap, dan apabila perlakuan itu tidak dilakukan, maka untuk mencegahnya percobaan harus dilakukan dengan cepat.


4.1.2 Penentuan Kadar Fe dalam FeSO4
Percobaan ini akan dilakukan dengan mengambil 10 ml FeSO4 dan menempatkannya dalam Erlenmeyer, kemudian ditambahkan 10 ml H2SO4 dan larutan tersebut dipanaskan hingga mendidih. Larutan yang telah mendidih kemudian dilanjutkan dengan titrasi menggunakan KMnO4 hingga muncul warna merah jambu.
            Besi sebagai ferro dapat dititrasi oleh KMnO4 dalam suasana asam dan reaksi yang terjadi adalah:
5 Fe2+ + MnO4- + 8 H+              5 Fe3+  + Mn2+ + 4 H2O
Sama seperti saat standarisasi KMnO4, titrasi ini juga harus dilakukan dalam suasana asam dan panas. Penjelasan mengenai kondisi tersebut telah dijelaskan pada bahasan standarisasi KMnO4.
            Berdasarkan reaksi di atas, pada titrasi larutan ion ferro oleh larutan KMnO4 akan terbentuk ion ferri (Fe3+) yang berwarna coklat kuning. Warna coklat kuning dari ion ferri ini dapat mengganggu penentuan TA yang berwarna merah ungu sangat muda (Bassett, J. dkk., 1994). Seharusnya dilakukan penambahan asam fosfat untuk menanggulangi masalah tersebut, namun saat praktikum tidak dilakukan karena TA masih dianggap jelas. Menurut Bassett, J. dkk. (1994), dengan asam fosfat, ion ferri akan bereaksi membentuk kompleks yang tidak berwarna.
Fe3+ + HPO42-              Fe(HPO4)+
coklat kuning                   tak berwarna

-          Penentuan kadar Fe dalam FeSO4 7 H2O ~ (permanganometri)
V KMnO4 = 4,7 (over)
BM Fe = 55,845 (5)
W Fe = VKMnO4 / V FeSO4 X BM Fe
= 4,7/10.55,845
= 26,247 à 0,02624 gram
Berikut dibawah merupakan hasil titrasi penentuan kadar Fe dalam FeSO4


Tabel 2. Penentuan kadar Fe
Kelompok
V. KMnO4
W Fe
1
4,7ml
0,415198 g
2
3,3ml
0,2915 g
3
3,2ml
0,282688 g
4
3,5ml
0,30919 g
5
3,5ml
0,30919 g
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2015)

Perhitungan penentuan kadar Fe kelompok 1:
W Fe               = N MnO4 x V MnO4 x Be Fe (5)
=  0,3155 x 4,7 x 56/1 x (5)
                            = 415,198 mg
                        = 0,415198 gram
kadar Fe          = W Fe / V MnO4 (L)
                        = 0,415198 / 0,01 L
                        = 41,5198 g/l

            Berdasarkan tabel 2. Kelompok 1 mendapatkan kadar Fe yang lebih besar, seharusnya semua kelompok mendapatkan kadar Fe yang tidak jauh berbeda karena sampel yang digunakan sama, hanya berbeda dalam jumlah sampelnya. Sampel yang digunakan bukan sampel alam atau campuran melainkan senyawa kimia murni yaitu FeSO4 maka sebenarnya kadar Fe dapat langsung diketahui yaitu:
Massa Fe         = (Ar Fe : Mr FeSO4) x Massa Sampel (FeSO4)
                        = (56 : 152) x 8 g
                        = 2,95 g
% Fe                = (massa Fe : massa sampel) x 100%
                        = (2,95 g : 8 g) x 100%
                        = 36,84 %
Hasil yang didapatkan oleh semua kelompok adalah 36,84 %, pengkonversian kadar Fe menjadi persen ralat Fe dari kelima kelompok menunjukan hasil yang tidak terlalu jauh dengan persen ralat KMnO4 yang sesuai literature yaitu 50%, perbedaan kadar Fe pada setiap kelompok dapat diakibatkan karena tingkat ketelitian setiap praktikan berbeda-beda sehingga saat melakukan titrasi perbedaan dan ketepatan menghentikan titrasi saat tercapai titik ekuivalen juga berbeda. Alat yang kotor atau sudah kurang baik berfungsi juga dapat mempengaruhi perbedaan tersebut,  jika hasil yang didapat lebih besar dari 36,84% akan terjadi yang diakibatkan dari reaksi larutan titran (FeSO4) terlalu panas saat dititrasi. Menurut Bassett, J. dkk. (1994), pada suhu terlalu tinggi KMnO4 dapat mengurai dan karena kemungkinan penguraian ini jumlah/volume larutan KMnO4 yang diperlukan menjadi lebih tinggi dari seharusnya (Bassett, J. dkk., 1994). Jika volume larutan KMnO4 yang diperlukan menjadi lebih tinggi dari seharusnya maka kadar yang didapat akan lebih besar dari seharusnya.

4.2 Iodometri
Iodometri adalah analisa titrimetri yang secara tidak langsung (diperoleh dengan mereaksikan KI) untuk zat yang bersifat oksidator seperti besi III, tembaga II, dimana zat ini akan mengoksidasi iodida yang ditambahkan membentuk iodin. Iodin yang terbentuk akan ditentukan dengan menggunakan larutan baku tiosulfat. Metode titrasi iodometri tak langsung (iodometri) adalah berkenaan dengan titrasi dari iod yang dibebaskan dalam reaksi kimia (Bassett, 1994).
Dalam proses analitik, iodium digunakan sebagai pereaksi oksidasi (iodimetri) dan ion iodida digunakan sebagai pereaksi reduksi (iodometri). Relatif beberapa zat merupakan pereaksi reduksi yang cukup kuat untuk dititrasi secara langsung dengan iodium.  Maka jumlah penentuan iodimetrik adalah sedikit. Akan tetapi banyak pereaksi oksidasi cukup kuat untuk bereaksi sempurna dengan ion iodida, dan ada banyak penggunaan proses iodometrik. Suatu kelebihan ion iodida ditambahkan kepada pereaksi oksidasi yang ditentukan, dengan pembebasan iodium, yang kemudian dititrasi dengan larutan natrium tiosulfat.  Reaksi antara iodium dan tiosulfat berlangsung secara sempurna. Dasar dari titrasi ini adalah reaksi reversible dari iodium dan iodide :
        I2      +         2e-                                    2 I -
            2 S2O32-                       S4O62-  +   2e-
        I2    +  2 S2O32-                  2 I -     +   S4O62-
Pada iodometri (cara tidak langsung), iodide bertindak sebagai pereduksi diubah menjadi iodium dan iodium yang terbentuk dititrasi denagn larutan standar Na2S2O3. jadi, cara iodometri dipakai untuk menentukan zat-zat pengoksidasi. Sebagai indikator digunakan larutan amilum, yang akan membentuk senyawa adsorpsi dengan iodium. Titik titrasi ditandai dengan hilangnya warna biru pada larutan.
Pemaparan Iodometri merupakan titrasi redoks antara I2 dengan larutan natrium tiosulfat. Berikut ini merupakan hasil dari titrasi iodometri.
            Menurut Bassett, J. dkk. (1994), dasar penentuan jumlah atau kadar suatu ion pada iodometri adalah jumlah I2 yang terbentuk jika ion I- yang sengaja ditambahkan teroksidasi menjadi I2. Titrasi yang dilakukan pada iodometri bertujuan hanya untuk menentukan jumlah I2 ini jadi pada iodometri :
a.       Ion yang dapat ditentukan jumlah atau kadarnya adalah ion yang bersifat sebagai pengoksidasi dalam pengertian ion yang berbentuk teroksidasi yang harga potensial elektroda standarnya lebih besar dari 0,5355 volt.
b.      Larutan bakunya bukan larutan I2 melainkan larutan natrium tiosulfat, Na2S2O3.
Baik pada iodimetri maupun iodometri, titrasi selalu berkaitan dengan I2. Meskipun warna I2 (bentuk teroksidasi) berbeda dengan warna I- (bentuk tereduksi), secara teoritis untuk titrasi ini tidak memerlukan indikator, tapi karena warnanya dalam keadaan encer sangat lemah, maka pada titrasi ini diperlukan indikator. Indikator yang diguanakan adalah larutan kanji (amilum). Kanji atau amilum dengan I2 akan bereaksi dan reaksinya adalah reaksi reversible:
I2 + amilum               kompleks Iod-amilum
Biru tua
Kompleks iod-amilum ini adalah senyawa yang agak sukar larut dalam air sehingga kalau pada reaksi ini I2 tinggi, kesetimbangan akan terletak jauh disebelah kanan, kompleks iod-amilum yang terbentuk banyak, akan terjadi endapan. Akibatnya jika pada titrasi I2 “hilang” karena tereduksi, kesetimbangannya tidak segera kembali bergeser kea rah kiri, warna kompleks iod-amilum agak sukar hilang (Bassett, J. dkk., 1994).
            I2 di awal titrasi iodometri sangat besar karena adanya penambahan KI berlebih, maka berdasarkan uraian tersebut pada iodometri amilum tidak ditambahkan sejak awal, melainkan saat menjelang TE, yaitu pada saat I2 cukup kecil karena sebagian besar I2 telah tereduksi oleh S2O32- sehingga pengendapan kompleks dapat dicegah.
4.2.1 Standarisasi Na2S2O3 terhadap K2Cr2O7 0,1 N
      Na2S2O3 sebelum digunakan sebagai standar, harus distandarisasi terlebih dahulu. Standarisasi Na2S2O3 bisa digunakan K2Cr2O7, KIO3, KBrO3, dan Serium(IV) sulfat. Pada praktikum yang dilakukan, standarisasi Na2S2O3 digunakan K2Cr2O7 (kalium dikromat). Na2S2O3 diperoleh dalam bentuk pentahidrat Na2S2O3.5H2O. Na2S2O3.5H2O adalah zat padat  kristal transparan. Larutan Na2S2O3 tidak stabil dalam suasana asam. Pada suasana asam akan terjadi reaksi penguraian yang menyebabkan terbentuknya kekeruhan putih sampai kuning dari S (belerang):
S2O3- + 2H+ ↔ H2S2O3 ↔ H2O + SO2 + S(S)
Penguraian tersebut dipercepat oleh panas, cahaya, dan asam. Na2S2O3 mengurai oleh bakteri Thiobacillus thioparrus yang merupakan pemakan belerang. Selain itu Na2S2O3 dioksidasi oleh O2, oleh karena itu untuk melarutkan Na2S2O3 digunakan air yang telah dididihkan dan didinginkan kembali. Hal ini bertujuan untuk membunuh bakteri dan mengeluarkan gas O2 dan CO2 (Endrian, 2007). Selain itu bisa ditambahkan Na2CO3 0,2 g/liter untuk mencapai pH 9, karena bakteri Thiobacillus thioparrus tumbuh dengan lambat pada pH tersebut.
            Pengerjaan  standarisasi diawali dengan menambahkan KI berlebih ke dalam larutan K2Cr2O7 untuk membentuk I2 kemudian I2 yang terbentuk dititarsi oleh Na2S2O3 hingga hampir mencapai TA sehingga sebagian besar I2 tereduksi oleh  S2O22- menjadi I- dan tersisa sedikit I2 yang belum tereduksi, lalu ditambahkan indikator amilum sehingga I2 sisa membentuk kompleks iod-amilum yang berwarna biru tua dengan reaksi reversible. Titrasi dilanjutkan sehingga semakin banyak I2 yang tereduksi oleh S2O22- ­maka kesetimbangan akan bergeser ke kiri dan kompleks iod-amilum akan berubah kembali menjadi I2 dan dengan cepat I2 akan tereduksi menjadi I- yang tidak berwarna. Berikut merupakan reaksi yang terjadi :                                                                                                                                                                                                                                                                                                              
Cr2 O72-+ 6I- + 14 H+                     2Cr33+ + 3I2 + 7 H2O
orange                                          hijau
3 I2  + 6 S2O2 2-                           6I- + 3 S4O6 2-
I2 + amilum               kompleks Iod-amilum
Biru tua
Berdasarkan hasil praktikum 5 kelompok didapatkan data sebagai berikut:
Tabel 3. Data Titrasi 10 ml K2Cr2O7 0,2 N oleh larutan Na2S2O3
Kelompok
V. Na2S2O3 (ml)
N. Na2S2O3 (N)
1
10,2ml
0,098
2
10,2ml
0,098
3
10,2ml
0,098
4
10,2ml
0,098
5
10 ml
0,1
Rata-rata
0.0984
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2015)

Perhitungan dalam standarisasi Na2S2O3  Kelompok 1 adalah sebagai berikut:        
N Na2S2O3 =  N K2Cr2O7    x   V K2Cr2O7  / V Na2S2O3
                       = 0,1 N x 10ml
                   = 0,0,98 N
Hasil pengamatan berikut menunjukan nilai normalitas Na2S2O3 memiliki hasil yang mendekati literature yaitu 0,1 N, Hal ini menunjukan bahwa ketelitian dari praktikan dalam preparasi pembuatan larutan sudah cukup baik.
            Setelah penambahan KI, titran disimpan ditempat gelap karena I2 mudah terurai oleh cahaya. Menurut Bassett, J. dkk. (1994), factor yang dapat mengakibatkan kesalahan analisis adalah:
a.       Menguapnya I2
b.      terjadi oksidasi I­- dalam suasana asam oleh O2 dari udara
4.2.2 Penentuan Kadar Cu dalam Terusi (CuSO4)
            Cu dapat ditetapkan secara iodometri dalam bentuk ion kupro (Cu2+), dengan reaksi sebagai berikut:
2Cu2+ + 4I-                     2CuI (s) + I2
  Biru                           putih susu
I2- + 2 S2O32-                        2I-+ S4O6 2-
I2 + amilum               kompleks Iod-amilum
Biru tua
Prinsip pengerjaannya sama seperti standarisasi Na2S2O3. Berikut ini merupakan data yang didapatkan oleh 5 kelompok:
Tabel 4. Penentuan kadar Cu
Kelompok
V. Na2S2O3
W Cu
6
10,6 ml
0,13462 g
7
11 ml
0,1397 g
8
11,7 ml
0,14859 g
9
10,9 ml
0,13843 g
10
10,8 ml
0,13716 g

Perhitungan penentuan kadar Cu kelompok 6 diuraikan sebagai berikut:
mek Cu            =          mek Na2S2O3
                        =  V. Na2S2O3 x N Na2S2O3
                            = (11 ml x 0,1920 N)
                        = 2,112 mek

massa Cu         = mek Fe x BE Fe
                        = 2,112 mek x 63,5
                        = 134,112 mg

massa Cu total = massa Cu x (250/10)
                        = 134,112 mg x 25
                        =  3.352,8 mg
                        =  3,3528 g


                                    = 53,64 % (w/w)

                                         = 13,41 mg/ml = 13,41 1 g/L (W/V)
Sampel yang digunakan bukan sampel alam atau campuran melainkan senyawa kimia murni yaitu CuSO4 maka sebenarnya kadar Cu dapat langsung diketahui yaitu:
Massa Cu        = (Ar Cu : Mr CuSO4) x Massa Sampel (CuSO4)
                        = (63,5 : 159,5) x 6,25 g
                        = 2,49 g
% Cu               = (massa Cu : massa sampel) x 100%
                        = (2,49 g : 6,25 g) x 100%
                        = 39,81 %
            Berdasarkan hasil pengerjaan kelima kelompok didapatkan hasil yang berdekatan yaitu sekitar 54% tetapi nilai ini jauh lebih besar dari seharusnya yaitu 39,81%. ini menunjukkan presisi yang baik namun akurasi yang buruk. Hal ini terjadi karena setelah penambahan KI Erlenmeyer tidak ditutup sehingga ada kontak dengan udara sehingga I- dari KI tidak hanya tereduksi oleh Cu tapi ada juga yang tereduksi oleh O2 dari udara.
O2 + 4I- + 4H+                                2I2 + 2H2O
Reaksi ini menyebabkan I2­ yang terbentuk lebih banyak dari seharusnya maka volume titrasi (Na2S2O3) juga akan lebih besar sehingga kadar yang didapatpun akan lebih besar dari seharusnya.



V.          KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pengamatan dapat disimpulkan bahwa:
1.      Konsentrasi rata-rata KMnO4 adalah 0,1947 N
2.      Kadar Fe (sampel 16 g) rata-rata adalah 6,27 g/L (w/v), kadar Fe (sampel 8 g) rata-rata adalah 3,29 g/L (w/v), dan kadar Fe (w/w) adalah 40,34%
3.      Konsentrasi rata-rata Na2S2O3 adalah 0,1920 N
4.      Kadar Cu rata-rata adalah 54,37 % (w/w) dan 13,60 g/L (w/v)

























DAFTAR ISI

Basset, J., Jeffery, G. H., Mendham, J., Denney, R. C. 1994. Textbook of Quantitative Chemical Analysis. Fifth Edition. Longman, New York.
Endari, E. 2007. Hand Out Iodometri. Sekolah Menengah Kejuruan Analisis Kimia 13, Bandung.
Khopkar, S. M. 1990. Konsep Dasar Kimia Analitik. Universitas Indonesia Press, Jakarta.




No comments:

Post a Comment