Yoga Jati Pratama
240210140003
Kelompok 1A Universitas Padjadjaran
240210140003
Kelompok 1A Universitas Padjadjaran
IV.
PEMBAHASAN
Oksideimetri adalah
salah satu metode titirimetri yang larutan bakunya adalah larutan yang bersifat
sebagai pengoksidasi. Jadi pada oksidimetri zat yang dapat ditentukan
jumlah/kadarnya adalah zat yang bersifat sebagai pereduksi saja (Bassett, J. dkk., 1994).
Titrasi
ini didasarkan pada reaksi reduksi oksidasi, maka sering disebut juga titrasi
redoks. Menurut Khopkar (2003), Istilah oksidasi mengacu pada setiap perubahan
kimia dimana terjadi kenaikan bilangan oksidasi, sedangkan reduksi digunakan
untuk setiap penurunan bilangan oksidasi. Berarti proses oksidasi disertai
hilangnya elektron sedangkan reduksi memperoleh elektron. Oksidator adalah
senyawa di mana atom yang terkandung mengalami penurunan bilangan oksidasi.
Sebaliknya pada reduktor, atom yang terkandung mengalami kenaikan bilangan
oksidasi. Oksidasi-reduksi harus selalu berlangsung bersama dan saling
menkompensasi satu sama lain. Istilah oksidator reduktor mengacu kepada suatu
senyawa, tidak kepada atomnya saja.
Reduksi–oksidasi
adalah proses perpindahan elektron dari suatu oksidator ke reduktor. Reaksi reduksi adalah reaksi penangkapan elektron atau
reaksi terjadinya penurunan bilangan oksidasi. Sedangkan reaksi oksidasi adalah
pelepasan elektron atau reaksi terjadinya kenaikan bilangan oksidasi. Jadi,
reaksi redoks adalah reaksi penerimaan elektron dan pelepasan elektron atau
reaksi penurunan dan kenaikan bilangan oksidasi.
Berdasarkan
jenis larutan baku yang digunakan, dikenal adanya permanganimetri,
dikhromatometri, cerrimetri, iodometri dan iodimetri (Bassett, J. dkk., 1994).
Jenis titrasi redoks yang dilakukan saat praktikum adalah permanganimetri dan
iodometri.
4.1 Permanganimetri
|
2
KMnO4 K2MnO4
+ MnO2 + O2
Penguraian
ini akan berlangsung lebih cepat pada suhu tinggi, oleh karena itu hampir sukar
mendapatkan KMnO4 murni apalagi setelah tersimpan agak lama (Bassett, J. dkk., 1994). Hal tersebut merupakan
alasan larutan KMnO4 harus
distandarisasi terlebih dahulu sebelum digunakan untuk menetapkan kadar zat
lain.
KMnO4 pada
permanganimetri akan mengalami reduksi dan karena reaksinya selalu dilakukan
dalam suasana asam kuat, maka persamaan reaksinya adalah :
MnO4-
+ 8 H+ + 5 e Mn2+
+ 4 H2O
dan
dari reaksi ini terlihat bahwa setiap molekul MnO4-
melibatkan 5 e sehingga :
Berat ekivalen (BE) KMnO4
= MR KMnO4 : 5
=
158 : 5 = 31,6
Tidak diperlukan tambahan indikator
pada permanganimetri karena warna merah ungu dari larutan KMnO4
sendiri dapat berfungsi sebagai indikator (autoindikator), pada permanganimetri
larutan KMnO4 selalu akan mengalami reaksi reduksi dengan reaksi:
MnO4-
+ 8 H+ + 5 e Mn2+
+ 4 H2O
Merah ungu tak berwarna
(bening)
Peniteran
larutan KMnO4, selama pereduksi atau larutan yang dititrasi masih
ada, akan segera mereduksinya dan warna MnO4- segera
hilang. Saat pereduksi tepat habis, jadi saat TE dicapai, tetes terakhir KMnO4
tidak tereduksi lagi sehingga warna larutan reaksi akan berubah menjadi merah
ungu (Bassett, J. dkk., 1994).
4.1.1 Standarisasi KMnO4 terhadap
N2C2O4 0,1 N
Zat baku primer yang dapat digunakan
dalam standarisasi larutan baku KMnO4 adalah natrium oksalat ( N2C2O4.2H2O),
natrium oksalat ( Na2C2O4), dan arsen
trioksida (As2O3) (Bassett,
J. dkk., 1994). Zat baku primer yang digunakan saat praktikum adalah natrium
oksalat ( Na2C2O4), pada reaksinya natrium
oksalat ini akan mengalami reaksi oksidasi :
Na2C2O4 2CO2 + 2Na+ +
2e
dan
karena setiap molekul asam melibatkan 2 elektron, maka :
Berat ekivalen (BE) asam oksalat =
MR Na2C2O4.2H2O : 2
=
126 : 2 = 63
Standarisasi KMnO4
dilakukan dalam suasana asam dan panas. Suasana asam didapatkan dengan
penambahan H2SO4 sebelum titrasi. Titrasi ini harus dalam
suasana asam karena:
a. Daya
oksidasi KMnO4 dalam suasana asam lebih kuat
b. KMnO4
dapat bertindak sebagai autoindikator hanya dalam
suasana asam.
c. Dalam
suasana netral terbentuk MnO2,
endapan berwarna cokelat yang mengganggu titik
akhir titrasi.
MnO4- (aq) + 2 H2O(l) + 3 e MnO2 (s) +
4 OH- (aq)
Merah ungu endapan
coklat
Pemanasan dilakukan untuk
mempercepat reaksi. Menurut Bassett, J. dkk. (1994),
reaksi natrium oksalat dengan KMnO4 berjalan agak lambat
karena itu untuk mempercepat reaksinya, titrasi dilakukan dengan suhu larutan
natrium oksalat agak tinggi (55-65° C). Reaksi
yang berlangsung saat titarsi yaitu:
2MnO4-
+ 5 C2O42- + 16 H+ 2 Mn2+ + 2 CO2
+ 8 H2O
Merah ungu tak berwarna (bening)
Titik akhir ditunjukkan dengan adanya MnO4-
yang sudah tidak bisa tereduksi lagi, secara visual hal ini ditandai
dengan terbentuknya warna merah yang permanen. Selain itu, tetes pertama larutan
KMnO4 lambat sekali bereaksi tapi tetes-tetes berikutnya akan
beraksi makin cepat. Hal ini disebabkan karena Mn2+ yang terbentuk
pada reaksi sebelumnya berfungsi sebagai katalis untuk reaksi berikutnya.
Penetesan KMnO4 harus dilakuakn setelah warna MnO4-
tetes sebelumnya hilang (Bassett, J. dkk.,
1994). Berikut merupakan hasil titrasi standarisasi KMnO4
yang dilakukan:
Tabel
1. Data Titrasi 10 ml Na2C2O4 0,1 N oleh
larutan KMnO4
Kelompok
|
V.
KMnO4
(ml)
|
N.
KMnO4
(N)
|
6
|
4,1
ml
|
0,2439
|
7
|
3,2
ml
|
0,3125
|
8
|
3,3
ml
|
0,303
|
9
|
3,4
ml
|
0,294
|
10
|
3,3
ml
|
0,303
|
Rata-rata
|
3,46
|
0,1947
|
(Sumber: Dokumentasi Pribadi,
2015)
Perhitungan standarisasi KMnO4
kelompok 6:
Nilai normalitas yang didapatkan
dari kelima kelompok menunjukan hasil yang tidak mendekati literature yaitu 0,1
N.
Kesalahan analisis yang mungkin
terjadi pada titrasi ini adalah pada suhu agak tinggi KMnO4
dapat mengurai dan karena kemungkinan penguraian ini jumlah/volume larutan KMnO4
yang diperlukan menjadi lebih tinggi dari seharusnya (Bassett, J. dkk., 1994). Kemudian kesalahan dapat
disebabkan juga oleh larutan peniter yaitu KMnO4 yang
disimpan pada biuret sudah cukup lama terkena cahaya matahari maka akan terurai
menjadi MnO2 sehingga pada titik akhir titrasiakan terjadi
pembentukan presipitat coklat, dan seharusnya adalah larutan berwarna merah,
Hal ini dapat dicegah dengan menggunakan buret gelap atau membungkus buret
dengan alufo atau plastic gelap, dan apabila perlakuan itu tidak dilakukan,
maka untuk mencegahnya percobaan harus dilakukan dengan cepat.
4.1.2 Penentuan Kadar Fe dalam FeSO4
Percobaan ini akan dilakukan dengan mengambil 10 ml FeSO4
dan menempatkannya dalam Erlenmeyer, kemudian ditambahkan 10 ml H2SO4
dan larutan tersebut dipanaskan hingga mendidih. Larutan yang telah
mendidih kemudian dilanjutkan dengan titrasi menggunakan KMnO4
hingga muncul warna merah jambu.
Besi
sebagai ferro dapat dititrasi oleh KMnO4 dalam
suasana asam dan reaksi yang terjadi adalah:
5
Fe2+ + MnO4- + 8 H+ 5 Fe3+ + Mn2+ + 4 H2O
Sama seperti saat standarisasi KMnO4, titrasi
ini juga harus dilakukan dalam suasana asam dan panas. Penjelasan mengenai
kondisi tersebut telah dijelaskan pada bahasan standarisasi KMnO4.
Berdasarkan reaksi di atas, pada titrasi
larutan ion ferro oleh larutan KMnO4 akan terbentuk ion ferri (Fe3+)
yang berwarna coklat kuning. Warna coklat kuning dari ion ferri ini dapat
mengganggu penentuan TA yang berwarna merah ungu sangat muda (Bassett, J. dkk., 1994). Seharusnya dilakukan
penambahan asam fosfat untuk menanggulangi masalah tersebut, namun saat
praktikum tidak dilakukan karena TA masih dianggap jelas. Menurut Bassett, J. dkk. (1994), dengan asam fosfat,
ion ferri akan bereaksi membentuk kompleks yang tidak berwarna.
Fe3+
+ HPO42-
Fe(HPO4)+
coklat
kuning tak berwarna
-
Penentuan
kadar Fe dalam FeSO4 7 H2O ~ (permanganometri)
V KMnO4 = 4,7 (over)
BM Fe = 55,845 (5)
W Fe = VKMnO4 / V FeSO4
X BM Fe
= 4,7/10.55,845
= 26,247 Ã 0,02624 gram
Berikut dibawah merupakan hasil
titrasi penentuan kadar Fe dalam FeSO4
Tabel 2. Penentuan
kadar Fe
Kelompok
|
V. KMnO4
|
W Fe
|
1
|
4,7ml
|
0,415198
g
|
2
|
3,3ml
|
0,2915
g
|
3
|
3,2ml
|
0,282688
g
|
4
|
3,5ml
|
0,30919
g
|
5
|
3,5ml
|
0,30919
g
|
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2015)
Perhitungan penentuan kadar Fe
kelompok 1:
W
Fe =
N MnO4 x V MnO4 x Be Fe (5)
=
0,3155 x 4,7 x 56/1 x (5)
= 415,198 mg
= 0,415198 gram
kadar Fe = W Fe / V MnO4 (L)
=
0,415198 / 0,01 L
=
41,5198 g/l
Berdasarkan
tabel 2. Kelompok 1 mendapatkan kadar Fe yang lebih besar, seharusnya semua
kelompok mendapatkan kadar Fe yang tidak jauh berbeda karena sampel yang
digunakan sama, hanya berbeda dalam jumlah sampelnya. Sampel yang digunakan
bukan sampel alam atau campuran melainkan senyawa kimia murni yaitu FeSO4
maka sebenarnya kadar Fe dapat langsung diketahui yaitu:
Massa Fe = (Ar Fe : Mr FeSO4) x Massa Sampel (FeSO4)
=
(56 : 152) x 8 g
=
2,95 g
% Fe =
(massa Fe : massa sampel) x 100%
=
(2,95 g : 8 g) x 100%
=
36,84 %
Hasil yang didapatkan oleh semua
kelompok adalah 36,84 %, pengkonversian kadar Fe menjadi persen ralat Fe dari
kelima kelompok menunjukan hasil yang tidak terlalu jauh dengan persen ralat
KMnO4 yang sesuai literature yaitu 50%, perbedaan kadar Fe pada
setiap kelompok dapat diakibatkan karena tingkat ketelitian setiap praktikan
berbeda-beda sehingga saat melakukan titrasi perbedaan dan ketepatan
menghentikan titrasi saat tercapai titik ekuivalen juga berbeda. Alat yang
kotor atau sudah kurang baik berfungsi juga dapat mempengaruhi perbedaan
tersebut, jika hasil yang didapat lebih
besar dari 36,84% akan terjadi yang diakibatkan dari reaksi larutan titran
(FeSO4) terlalu panas saat dititrasi. Menurut Bassett, J. dkk. (1994), pada suhu terlalu tinggi KMnO4
dapat mengurai dan karena kemungkinan penguraian ini jumlah/volume larutan KMnO4
yang diperlukan menjadi lebih tinggi dari seharusnya (Bassett, J. dkk., 1994). Jika volume larutan KMnO4
yang diperlukan menjadi lebih tinggi dari seharusnya maka kadar yang
didapat akan lebih besar dari seharusnya.
4.2
Iodometri
Iodometri adalah analisa
titrimetri yang secara tidak langsung (diperoleh dengan mereaksikan KI) untuk
zat yang bersifat oksidator seperti besi III, tembaga II, dimana zat ini akan
mengoksidasi iodida yang ditambahkan membentuk iodin. Iodin yang terbentuk akan
ditentukan dengan menggunakan larutan baku tiosulfat. Metode titrasi iodometri
tak langsung (iodometri) adalah berkenaan dengan titrasi dari iod yang
dibebaskan dalam reaksi kimia (Bassett, 1994).
Dalam proses analitik, iodium digunakan sebagai pereaksi oksidasi
(iodimetri) dan ion iodida digunakan sebagai pereaksi reduksi (iodometri).
Relatif beberapa zat merupakan pereaksi reduksi yang cukup kuat untuk dititrasi
secara langsung dengan iodium. Maka jumlah penentuan iodimetrik adalah
sedikit. Akan tetapi banyak pereaksi oksidasi cukup kuat untuk bereaksi
sempurna dengan ion iodida, dan ada banyak penggunaan proses iodometrik. Suatu
kelebihan ion iodida ditambahkan kepada pereaksi oksidasi yang ditentukan,
dengan pembebasan iodium, yang kemudian dititrasi dengan larutan natrium
tiosulfat. Reaksi antara iodium dan tiosulfat berlangsung secara sempurna.
Dasar dari titrasi ini
adalah reaksi reversible dari iodium dan iodide :
I2 + 2e- 2 I -
2 S2O32- S4O62- + 2e-
I2 + 2 S2O32- 2 I - + S4O62-
Pada iodometri (cara tidak langsung), iodide bertindak sebagai pereduksi
diubah menjadi iodium dan iodium yang terbentuk dititrasi denagn larutan
standar Na2S2O3. jadi, cara iodometri dipakai
untuk menentukan zat-zat pengoksidasi. Sebagai indikator digunakan larutan
amilum, yang akan membentuk senyawa adsorpsi dengan iodium. Titik titrasi
ditandai dengan hilangnya warna biru pada larutan.
Pemaparan Iodometri
merupakan titrasi redoks antara I2 dengan larutan natrium tiosulfat.
Berikut ini merupakan hasil dari titrasi iodometri.
Menurut Bassett, J. dkk. (1994), dasar penentuan jumlah
atau kadar suatu ion pada iodometri adalah jumlah I2 yang terbentuk
jika ion I- yang sengaja ditambahkan teroksidasi menjadi I2.
Titrasi yang dilakukan pada iodometri bertujuan hanya untuk menentukan jumlah I2
ini jadi pada iodometri :
a.
Ion yang dapat
ditentukan jumlah atau kadarnya adalah ion yang bersifat sebagai pengoksidasi
dalam pengertian ion yang berbentuk teroksidasi yang harga potensial elektroda
standarnya lebih besar dari 0,5355 volt.
b.
Larutan bakunya
bukan larutan I2 melainkan larutan natrium tiosulfat, Na2S2O3.
Baik pada iodimetri
maupun iodometri, titrasi selalu berkaitan dengan I2. Meskipun warna
I2 (bentuk teroksidasi) berbeda dengan warna I- (bentuk tereduksi),
secara teoritis untuk titrasi ini tidak memerlukan indikator, tapi karena
warnanya dalam keadaan encer sangat lemah, maka pada titrasi ini diperlukan
indikator. Indikator yang diguanakan adalah larutan kanji (amilum). Kanji atau
amilum dengan I2 akan bereaksi dan reaksinya adalah reaksi
reversible:
I2
+ amilum kompleks
Iod-amilum
Biru
tua
Kompleks iod-amilum ini adalah senyawa
yang agak sukar larut dalam air sehingga kalau pada reaksi ini I2
tinggi, kesetimbangan akan terletak jauh disebelah kanan, kompleks iod-amilum
yang terbentuk banyak, akan terjadi endapan. Akibatnya jika pada titrasi I2
“hilang” karena tereduksi, kesetimbangannya tidak segera kembali bergeser
kea rah kiri, warna kompleks iod-amilum agak sukar hilang (Bassett, J. dkk., 1994).
I2 di awal titrasi
iodometri sangat besar karena adanya penambahan KI berlebih, maka berdasarkan
uraian tersebut pada iodometri amilum tidak ditambahkan sejak awal, melainkan
saat menjelang TE, yaitu pada saat I2 cukup kecil karena sebagian
besar I2 telah tereduksi oleh S2O32-
sehingga pengendapan kompleks dapat dicegah.
4.2.1
Standarisasi Na2S2O3 terhadap K2Cr2O7
0,1 N
Na2S2O3 sebelum digunakan
sebagai standar, harus distandarisasi terlebih dahulu. Standarisasi Na2S2O3
bisa digunakan K2Cr2O7, KIO3, KBrO3,
dan Serium(IV) sulfat. Pada praktikum yang dilakukan, standarisasi Na2S2O3
digunakan K2Cr2O7 (kalium dikromat). Na2S2O3
diperoleh dalam bentuk pentahidrat Na2S2O3.5H2O.
Na2S2O3.5H2O adalah zat padat kristal transparan. Larutan Na2S2O3
tidak stabil dalam suasana asam. Pada suasana asam akan terjadi reaksi
penguraian yang menyebabkan terbentuknya kekeruhan putih sampai kuning dari S
(belerang):
S2O3-
+ 2H+ ↔ H2S2O3 ↔ H2O +
SO2 + S(S)
Penguraian tersebut dipercepat oleh
panas, cahaya, dan asam. Na2S2O3 mengurai oleh
bakteri Thiobacillus thioparrus yang
merupakan pemakan belerang. Selain itu Na2S2O3
dioksidasi oleh O2, oleh karena itu untuk melarutkan Na2S2O3
digunakan air yang telah dididihkan dan didinginkan kembali. Hal ini bertujuan
untuk membunuh bakteri dan mengeluarkan gas O2 dan CO2
(Endrian, 2007). Selain itu bisa ditambahkan Na2CO3 0,2
g/liter untuk mencapai pH 9, karena bakteri Thiobacillus
thioparrus tumbuh dengan lambat pada pH tersebut.
Pengerjaan standarisasi diawali dengan menambahkan KI
berlebih ke dalam larutan K2Cr2O7 untuk
membentuk I2 kemudian I2 yang terbentuk dititarsi oleh Na2S2O3
hingga hampir mencapai TA sehingga
sebagian besar I2 tereduksi oleh S2O22-
menjadi I- dan tersisa sedikit I2 yang belum tereduksi,
lalu ditambahkan indikator amilum sehingga I2 sisa membentuk
kompleks iod-amilum yang berwarna biru tua dengan reaksi reversible. Titrasi
dilanjutkan sehingga semakin banyak I2 yang tereduksi oleh S2O22-
maka kesetimbangan akan bergeser ke kiri dan kompleks iod-amilum akan
berubah kembali menjadi I2 dan dengan cepat I2 akan tereduksi
menjadi I- yang tidak berwarna. Berikut merupakan reaksi yang
terjadi :
Cr2 O72-+
6I- + 14 H+ 2Cr33+
+ 3I2 + 7 H2O
orange hijau
3 I2 + 6 S2O2 2- 6I- + 3 S4O6 2-
3 I2 + 6 S2O2 2- 6I- + 3 S4O6 2-
I2 +
amilum kompleks Iod-amilum
Biru
tua
Berdasarkan hasil
praktikum 5 kelompok didapatkan data sebagai berikut:
Tabel
3. Data Titrasi 10 ml K2Cr2O7 0,2 N oleh
larutan Na2S2O3
Kelompok
|
V.
Na2S2O3
(ml)
|
N.
Na2S2O3
(N)
|
1
|
10,2ml
|
0,098
|
2
|
10,2ml
|
0,098
|
3
|
10,2ml
|
0,098
|
4
|
10,2ml
|
0,098
|
5
|
10
ml
|
0,1
|
Rata-rata
|
0.0984
|
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2015)
Perhitungan dalam standarisasi Na2S2O3
Kelompok 1 adalah sebagai berikut:
N Na2S2O3
= N K2Cr2O7 x
V K2Cr2O7
/ V Na2S2O3
= 0,1 N x 10ml
= 0,0,98 N
Hasil
pengamatan berikut menunjukan nilai normalitas Na2S2O3
memiliki hasil yang mendekati literature yaitu 0,1 N, Hal ini menunjukan
bahwa ketelitian dari praktikan dalam preparasi pembuatan larutan sudah cukup
baik.
Setelah penambahan KI, titran
disimpan ditempat gelap karena I2 mudah terurai oleh cahaya. Menurut
Bassett, J. dkk. (1994), factor yang dapat mengakibatkan kesalahan analisis adalah:
a. Menguapnya I2
b.
terjadi oksidasi I- dalam suasana asam
oleh O2 dari udara
4.2.2 Penentuan Kadar Cu dalam Terusi (CuSO4)
Cu dapat
ditetapkan secara iodometri dalam bentuk ion kupro (Cu2+), dengan
reaksi sebagai berikut:
2Cu2+ + 4I- 2CuI (s) + I2
Biru putih susu
I2- + 2 S2O32- 2I-+ S4O6
2-
I2 + amilum kompleks Iod-amilum
Biru
tua
Prinsip
pengerjaannya sama seperti standarisasi Na2S2O3.
Berikut ini merupakan data yang didapatkan oleh 5 kelompok:
Tabel 4. Penentuan
kadar Cu
Kelompok
|
V. Na2S2O3
|
W Cu
|
6
|
10,6
ml
|
0,13462
g
|
7
|
11
ml
|
0,1397
g
|
8
|
11,7
ml
|
0,14859
g
|
9
|
10,9
ml
|
0,13843
g
|
10
|
10,8
ml
|
0,13716
g
|
Perhitungan penentuan kadar Cu
kelompok 6 diuraikan sebagai berikut:
mek Cu = mek Na2S2O3
= V. Na2S2O3 x N Na2S2O3
= (11 ml x 0,1920
N)
= 2,112 mek
massa Cu = mek Fe x BE Fe
=
2,112 mek x 63,5
=
134,112 mg
massa Cu total = massa Cu x (250/10)
=
134,112 mg x 25
= 3.352,8 mg
= 3,3528 g
= 53,64 % (w/w)
= 13,41
mg/ml = 13,41 1 g/L (W/V)
Sampel
yang digunakan bukan sampel alam atau campuran melainkan senyawa kimia murni
yaitu CuSO4 maka sebenarnya kadar Cu dapat langsung diketahui yaitu:
Massa Cu =
(Ar Cu : Mr CuSO4) x Massa Sampel (CuSO4)
=
(63,5 : 159,5) x 6,25 g
=
2,49 g
% Cu =
(massa Cu : massa sampel) x 100%
=
(2,49 g : 6,25 g) x 100%
=
39,81 %
Berdasarkan hasil pengerjaan kelima
kelompok didapatkan hasil yang berdekatan yaitu sekitar 54% tetapi nilai ini
jauh lebih besar dari seharusnya yaitu 39,81%. ini menunjukkan presisi yang
baik namun akurasi yang buruk. Hal ini terjadi karena setelah penambahan KI
Erlenmeyer tidak ditutup sehingga ada kontak dengan udara sehingga I-
dari KI tidak hanya tereduksi oleh Cu tapi ada juga yang tereduksi oleh O2
dari udara.
O2 + 4I- + 4H+ 2I2 +
2H2O
Reaksi ini
menyebabkan I2 yang terbentuk lebih banyak dari seharusnya maka volume
titrasi (Na2S2O3)
juga akan lebih besar sehingga kadar yang didapatpun akan lebih besar dari
seharusnya.
V.
KESIMPULAN
Berdasarkan
hasil pengamatan dapat disimpulkan bahwa:
1. Konsentrasi
rata-rata KMnO4 adalah 0,1947 N
2. Kadar Fe (sampel
16 g) rata-rata adalah 6,27 g/L (w/v), kadar Fe (sampel 8 g) rata-rata adalah 3,29 g/L (w/v), dan kadar
Fe (w/w) adalah 40,34%
3. Konsentrasi rata-rata Na2S2O3
adalah 0,1920
N
4. Kadar Cu rata-rata adalah 54,37 %
(w/w) dan 13,60 g/L (w/v)
DAFTAR ISI
Basset,
J., Jeffery, G. H., Mendham, J., Denney, R. C. 1994. Textbook of Quantitative
Chemical Analysis. Fifth Edition. Longman, New York.
Endari,
E. 2007. Hand Out Iodometri. Sekolah Menengah Kejuruan Analisis Kimia 13,
Bandung.
Khopkar, S. M. 1990. Konsep Dasar Kimia Analitik.
Universitas Indonesia Press, Jakarta.
No comments:
Post a Comment