ANALISIS TEKSTUR
BAHAN PANGAN
FAKULTAS
TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
UNIVERSITAS
PADJADJARAN
Yoga Jati Pratama
(240210140003)
Departemen Teknologi Industri Pangan Universitas Padjadjaran,
Jatinangor
Jalan Raya
Bandung-Sumedang Km. 21, Jatinangor, Sumedang 40600 Telp. (022) 7798844, 779570 Fax.
(022) 7795780 Email: yoga.jpratama1@gmail.com
ABSTRAK
Tekstur adalah
karakter yang sangat penting dari setiap makanan yang kita makan. Produk pangan
atau produk antara dalam proses pengolahan memiliki bentuk dan tekstur yang
bermacam-macam. Ada yang teksturnya Garing,
kenyal, renyah, juicy,
empuk, meler, padat,
keras, lunak. Produk pangan yang
berbeda-beda tekstur tersebut memiliki respon yang berbeda apabila dikenakan
gaya. Dengan perubahan sifat tersebut maka pengukuran mutu tekstur pun akan
berbeda. Parameter penting
mutu pada produk
pangan diantaranya kekenyalan,
kelengketan, dan elastisitas. Perubahan bentuk (deformasi) suatu benda padat,
semi padat, plastis atau cair dapat terjadi apabila ada gaya yang
mengenainya. Gaya yang diberikan dapat
berupa gaya tekan (compression), gaya tarik (tensile) atau gaya geser
(shearing). Pengujian tekstur bahan pangan yang dilakukan berdasarkan sifatnya yaitu
dengan metode fundamental,imitative, dan empirik. Praktikum ini dilakukan di
lab pendidikan 1 dan 2 gedung 4 FTIP UNPAD.
Kata
kunci :
Texture
measurement, pengukuran tekstur, bahan pangan.
PENDAHULUAN
Setiap
makanan atau produk pangan pasti memiliki warna, bau dan rasa. Demikian pula
mereka masing-masing memiliki sifat mekanis yang unik, bisa keras atau lunak,
liat atau empuk, lembut atau kasar, rapuh, renyah, mudah dan tidak mudah
mengalir, dan seterusnya.
Ada dua cara yang
bisa dilakukan untuk menguji sifat mekanis produk pangan. Pertama, menggunakan
indera manusia, dengan cara menyentuh, memijit, menggigit, mengunyah, dan
sebagainya, selanjutnya kita sampaikan apa yang kita rasakan. Ini yang disebut
dengan analisa sensori. Karena reaksi kita sebagai manusia yang menguji
berbeda-beda, maka diperlukan analisa statistik untuk menyimpulkan skala
perbedaan ataupun tingkat kesukaan penguji terhadap produk tersebut. Cara uji
kedua dengan pendekatan fisik, menggunakan instrument atau peralatan tertentu,
hasilnya dinyatakan dengan unit satuan meter (m), kilogram (kg) dan detik (dt).
Tekstur merupakan aspek yang penting untuk penilaian
mutu produk pangan. Tekstur termasuk dalam salah satu faktor yang mempengaruhi
penerimaan konsumen terhadap produk pangan (Hellyer, 2004). Dalam mendapatkan
tekstur makanan yang baik dapat digunakan turunan selulose dan pemakaian CMC
dapat memperbaiki tekstur dan mampu
untuk mencegah terjadinya retrogadasi (Makfoeld dkk., 2002).
Tekstur makanan dapat
didefinisikan sebagai cara dimana berbagai kandungan dan unsur struktural
disusun dan disatukan menjadi mikro dan makrostruktur dan perwujudan eksternal
struktur ini dalam bentuk aliran dan deformasi. Terdapat hubungan langsung
antara komposisi bahan kimia dari makanan, sifat fisik atau mekanis, dan hasil
dari sifat fisik atau mekanis tersebut. Tekstur makanan dapat ditentukan
melalui tes mekanik (instrumen) atau dengan analisis penginderaan. Selanjutnya,
kita menggunakan alat indera manusia sebagai alat analisis (deMan, 2013).
Menurut
Ihekoronye dan Ngoddy (1985), Tekstur Analyzer adalah alat yang terkait dengan
penilaian dari karakteristik mekanis suatu materi, di mana alat tersebut
diperlakukan untuk menentukan kekuatan materi dalam bentuk kurva. Tekstur
analizer digunakan untuk menentukan sifat fisik bahan yang berhubungan dengan
daya tahan atau kekuatan suatu bahan terhadap tekanan.
Hal yang perlu
diperhatikan saat akan melakukan analisis dengan texture analyzer adalah pemilihan trigger dan probe yang
tepat. Trigger dan probe yang digunakan untuk menguji
material harus disesuaikan dengan karakteristik material tersebut. Kurva hasil
pembacaan texture analyzer tersebut
akan merepresentasikan data-data yang diperlukan untuk mengetahui karakteristik
fisikokimia produk akhir, sehingga kualitas tekstural produk dapat diketahui.
Data – data yang didapatkan dalam kurva hasil teksture analyzer antara lain :
1. Hardness (tingkat kekerasan)
2. Crispiness (tingkat kerenyahan)
merupakan hasil bagi antara nilai tingkat kekerasan dan nilai rata-rata dari
semua titik (H1 / HAV).
3. Quantity and number of fractures
(karakteristik saat dipatahkan atau tingkat kerapuhan)
Karakteristik fisik
seperti kekerasan (hardness) dan fracturability termasuk ke dalam kajian
reologi produk. Karakteristik ini perlu dipelajari karena dapat mempengaruhi
bentuk fisik, tekstur, penampakan dan kerenyahan secara organoleptik produk
biskuit yang dihasilkan. Hardness dan
fracturability dipandang sebagai dua
indikator penting dalam menganalisis tekstur makanan terutama dalam
produk-produk baked seperti roti dan
biskuit (Pratama dkk., 2014).
Metodologi
Bahan dan alat
Alat yang digunakan dalam praktikum ini antara lain texture analyzer mikrometer sekrup,
penggaris, probe dan komputer atau laptop.
Sampel yang digunakan antara lain bakso, dodol. jelly, belimbing,
tahu, kerupuk, roti, dan waffer.
Analisis Teksture Menggunakan Texture Analyzer
Sampel
atau bahan disiapkan, dan ukur ketebalannya dengan menggunkan mikrometer sekrup
atau penggaris. Kemudian sampel diletakkan pada meja objek texture analyzer. Pilih probe yang sesuai dengan sampel. Untuk
sampel yang padat pilih probe yang silinder, untuk sampel liquid atau semi
padat pilih probe yang plate. Pada komputer dipilih program “Texture ProLite”. Probe pada alat diturunkan
sampai menyentuh sampel. Angka pada alat dinolkan terlebih dahulu. Alat instrumen dinyalakan dan kurva profil
tekstur diperoleh. Sifat teksture yang didapatkan Hardness, cohesiveness, adhesiveness.
Hasil dan Pembahasan
Faktor - faktor yang mempengaruhi
pengukuran tekstur sendiri adalah kadar air yaitu semakin tinggi kadar air,
maka sampel akan lebih lunak. Jika kadar air lebih rendah, maka sampel akan
keras. Gula pereduksi yaitu semakin tinggi gula reduksi pada sampel, maka
sampel akan lebih keras. Gas atau udara pada lingkungan sekitar yang mampu
untuk mempengaruhi kerapuhan sampel seperti pada keripik kentang. Ciri-ciri
tekstur dikelompokkan menjadi 3 golongan yang utama yaitu cirri mekanis, ciri
geometris, dan ciri yang lain yang berhubungan dengan air dan lemak (Szczesniak
dkk, 1963).
Salah satu faktor lain
yang mempengaruhi tekstur bahan adalah porositas bahan. Porositas bahan dapat
diperbesar dengan “puffing”. Inti dari pemakasan bertekanan (puffing) terhadap bahan yang dimasak adalah
perubahan suhu dan tekanan yang terjadi tiba-tiba. Dengan adanya perubahan
tekanan yang terjadi secara tiba-tiba maka akan terjadi pemekaran pada produk
yang dimasak yang berarti juga bahan menjadi porus (Rahayoe, 2009).
Analisis
Tekstur Bahan Pangan
Hasil yang didapat
pada pengujian analisis tekstur bahan pangan adalah berbeda pada masing-masing
kelompok, yaitu hasil menunjukkan adanya perbedaan nilai hardness,
cohesiveness, viscosity, elastisity, dan adhesiveness. Hal tersebut dapat
dilihat pada kurva hasil pengamatan berikut.
Kurva 1.
Perbandingan antara Force dengan waktu pada Bakso
Bakso daging adalah
produk yang diperoleh dari campuran daging ternak (kadar daging tidak kurang
dari 50%) dan pati atau serealia dan bumbu-bumbu, dalam kondisi matang.
Komponen utama dari daging yang digunakan untuk membuat bakso adalah protein.
Protein berperan dalam pengikatan hancuran daging selama pemasakan dan
pengemulsi lemak sehingga produk menjadi empuk, kompak, dan kenyal.
Pada percobaan yang dilakukan,
diketahui bahwa tingkat kekerasan bakso sebesar 25.0612 N. Nilai hardness yang cukup tinggi menunjukkan
bahwa bakso membutuhkan gaya yang cukup besar sampai mengalami deformasi atau
perubahan bentuk.
Kurva Area 1 dan Area
2 dapat dilihat pada Kurva 2 dan Kurva 3.
Kurva 2.
Luas Area 1 pada Bakso
Persamaan linear area 1 pada
kurva diatas yaitu y = 12.055x-2.9364 didapatkan luas area 1 menggunakan
integral, yaitu sebesar 19.529315.
Kurva 3.
Luas Area 2 pada Bakso
Persamaan area 2 pada
kurva diatas yaitu y = 10.969x-103.86 didapatkan luas area 2 menggunakan
integral, yaitu sebesar 14.0367648. Sehingga didapatkan nilai cohesiveness
bakso sebesar 0.7187, dan nilai springiness sebesar 0.9320. Springiness atau elastisity adalah laju suatu obyek untuk kembali ke bentuk semula
setelah terjadi deformasi (perubahan bentuk). Cohesiveness adalah kekuatan dari ikatan – ikatan yang berada dalam
suatu obyek yang menyusun ”body” dari
obyek tersebut. Sehingga dapat disimpulkan bahwa sampel bakso yang digunakan
tergolong elastis karena nilai springiness
mendekati 1. Nilai cohesiveness bakso
cukup besar sehingga dapat disimpulkan bahwa bakso yang digunakan cukup padat
penyusunnya.
Kurva 4.
Perbandingan antara Force dengan waktu pada Dodol
Dodol merupakan salah
satu produk olahan hasil pertanian yang termasuk dalam jenis makanan yang
mempunyai sifat agak basah sehingga dapat langsung dimakan tanpa dibasahi
terlebih dahulu (rehidrasi) dan cukup kering sehingga dapat stabil dalam
penyimpanan. Dodol termasuk jenis makanan setengah basah (Intermediate
Moisture Food) dengan bahan dasar tepung ketan yang sebagian besar terdiri
dari amilopektin yang mempunyai kadar air 10-40 %; Aw 0,70-0,85; tekstur lunak;
mempunyai sifat elastis, dapat langsung dimakan, tidak memerlukan pendinginan dan
tahan lama selama penyimpanan. (Astawan dan Wahyuni dalam Irawati, 2001)
Jika dilihat dari
literatur, dodol memiliki kadar air dan Aw yang cukup tinggi. Dodol memiliki
indeks penyerapan air yang tinggi. Indeks penyerapan air yang tinggi dapat
menurunkan tingkat kekerasan karena semakin banyak air yang diserap maka produk
yang dihasilkan semakin lunak (Pitrawati, 2008).
Hasil pengujian
terhadap tingkat hardness dodol dapat
dilihat pada Kurva 4, menunjukkan bahwa nilai kekerasan dodol tertinggi berada
pada 17.0658 N. Nilai hardness yang
cukup tinggi namun masih dibawah bakso menunjukkan bahwa dodol membutuhkan gaya
yang cukup besar sampai mengalami deformasi atau perubahan bentuk.
Kurva luas area 1 dan
luas area 2 dapat dilihat pada Kurva 5 dan Kurva 6.
Kurva 5.
Luas Area 1 pada Dodol
Kurva diatas menunjukkan
persamaan linear area 1 yaitu y = 9.0632x-1.1551 didapatkan luas area 1
menggunakan integral, yaitu sebesar 18.49074.
Kurva 6.
Luas Area 2 pada Dodol
Persamaan area 2 pada
kurva diatas yaitu y = 7.7987x-1.4593 didapatkan luas area 2 menggunakan
integral, yaitu sebesar 130.9196. Sehingga didapatkan nilai cohesiveness dodol
sebesar 7.08028, dan nilai springiness sebesar 0.8094. Dari nilai springiness
atau elasticity yang sudah mendekati 1 dapat disimpulkan bahwa dodol yang
digunakan sudah cukup elastis. Nilai cohesiveness
dodol sangat besar dapat disimpulkan
bahwa dodol yang digunakan memiliki ikatan penyusun yang kuat.
Kurva 7.
Perbandingan antara Force dengan waktu pada Jelly
Hasil pengujian terhadap
tingkat hardness jelly dapat dilihat
pada Kurva 7, menunjukkan bahwa nilai kekerasan jelly tertinggi berada pada
9.1676 N. Nilai hardness yang cukup
menunjukkan bahwa jelly membutuhkan gaya yang sedikit sampai mengalami
deformasi atau perubahan bentuk.
Kurva luas area 1 dan
luas area 2 dapat dilihat pada Kurva 8 dan Kurva 9.
Kurva 8.
Luas Area 1 pada Jelly
Kurva diatas
menunjukkan persamaan linear area 1 yaitu y = 3.7461x-1.6657 didapatkan luas
area 1 menggunakan integral, yaitu sebesar 7.756721.
Kurva 9.
Luas Area 2 pada Jelly
Persamaan area 2 pada
kurva diatas yaitu y = 2.5110x-24.0639 didapatkan luas area 2 menggunakan
integral, yaitu sebesar 51.24182. Sehingga didapatkan nilai cohesiveness jelly
sebesar 6.606118339, dan nilai springiness sebesar 0.995086. Dari nilai
springiness atau elasticity yang hampir 1 dapat disimpulkan bahwa jelly yang
digunakan sangat elastis atau kenyal. Nilai cohesiveness
jelly yang besar dapat disimpulkan bahwa
dodol yang digunakan memiliki ikatan penyusun yang kuat.
Berdasarkan hasil
praktikum, tingkat kekerasan paling tinggi terdapat pada dodol, kemudian jelly
dan yang terakhir bakso. Hal ini dapat dilihat dari nilai cohesiveness jelly
yang lebih tinggi dari pada bakso dan lebih rendah dari pada dodol. Sedangkan
berdasarkan tingkat kekenyalan paling tinggi terdapat pada jelly, kemudian
bakso dan yang terakhir dodol. Hal ini dapat dilihat dari nilai springiness
jelly yang lebih tinggi dari pada bakso dan dodol. Hubungan antara waktu,
tegangan, kerenyahan yaitu semakin banyak waktu yang dibutuhkan pada tekstur
maka tingkat ketegangan sampel tersebut semakin tinggi dan juga tingkat
kerenyahan sampel tersebut akan semakin tinggi pula, sehingga semakin baik
untuk dikonsumsi.
Kurva
10. Perbandingan antara Force dengan waktu pada Tahu
Tahu merupakan salah
satu jenis makanan yang dibuat dari kedelai dengan jalan memekatkan protein
kedelai dan mencetaknya melalui proses
pengendapan protein pada titik isoelektriknya, dengan atau tanpa penambah unsure-unsur
lainyang diizinkan (Suprapti, 2005).
Menurut Sundarsih
(2009), protein merupakan komponen utama dari kedelai kering. Kedelai utuh
mengandung 35 – 40% protein, paling tinggi dari segala jenis kacang – kacangan.
Hasil pengujian
terhadap tingkat hardness tahu dapat
dilihat pada Kurva 10, menunjukkan bahwa nilai kekerasan pada tahu 1 yaitu
2.3557 N. Sedangkan pada tahu 2 yaitu 1.3688 N. Tahu memiliki nilai hardness
yang sangat rendah sehingga dapat disimpulkan bahwa tahu mudah terdeformasi
atau mudah mengalami perubahan bentuk jika terkena gaya. hal ini dapat
dikarenakan ikatan penyusunnya (cohesiveness)
yang kurang kuat.
Hubungan antara waktu,
tegangan, kerenyahan yaitu semakin banyak waktu yang dibutuhkan pada tekstur
maka tingkat ketegangan sampel tersebut semakin tinggi dan juga tingkat
kerenyahan sampel tersebut akan semakin tinggi pula, sehingga semakin baik
untuk dikonsumsi.
Kurva
11. Perbandingan antara Force dengan waktu pada Belimbing
Hasil pengujian
terhadap tingkat hardness belimbing
dapat dilihat pada Kurva 11, menunjukkan bahwa nilai kekerasan belimbing
tertinggi berada pada 10.1246 N. Belimbing memiliki nilai hardness sedikit
lebih besar dari pada nilai hardness jelly.
Belimbing membutuhkan gaya yang cukup besar untuk mengalami deformasi
atau perubahan bentuk.
Hubungan antara waktu,
tegangan, kerenyahan yaitu semakin banyak waktu yang dibutuhkan pada tekstur
maka tingkat ketegangan sampel tersebut semakin tinggi dan juga tingkat
kerenyahan sampel tersebut akan semakin tinggi pula, sehingga semakin baik
untuk dikonsumsi.
Kurva
12. Perbandingan antara Force dengan waktu pada Kerupuk
Kerupuk merupakan
produk makanan kering hasil penggorengan dengan bahan dasar dari tapioka dengan
atau tanpa bahan tambahan lain yang diijinkan. Kerupuk merupakan jenis makanan
kecil yang mengalami pengembangan volume, membentuk produk yang berongga dan
mempunyai densitas rendah selama penggorengan. Kerupuk pada umumnya terbuat
dari bahan yang mengandung pati cukup tinggi (Astawan, 1988).
Hasil pengujian
terhadap tingkat hardness kerupuk
dapat dilihat pada Kurva 12, menunjukkan bahwa nilai kekerasan kerupuk
tertinggi berada pada 20.0362 N. Nilai hardness
kerupuk tergolong besar dan sudah melebihi hardness
bakso. Dapat disimpulkan untuk membuat kerupuk terdeformasi dibutuhkan gaya
yang besar. Hal ini dipengaruhi oleh indeks penyerapan air. Kerupuk memiliki
kadar air yang rendah sehingga teksturnya pun renyah.
Hubungan antara waktu,
tegangan, kerenyahan yaitu semakin banyak waktu yang dibutuhkan pada tekstur
maka tingkat ketegangan sampel tersebut semakin tinggi dan juga tingkat
kerenyahan sampel tersebut akan semakin tinggi pula, sehingga semakin baik
untuk dikonsumsi.
Kurva
13. Perbandingan antara Force dengan waktu pada Roti
Hasil pengujian
terhadap tingkat hardness roti dapat
dilihat pada Kurva 13, menunjukkan bahwa nilai kekerasan roti tertinggi berada
pada 19.3963 N. Nilai hardness roti hampir mendekati nilai hardness bakso.
Dapat disimpulkan untuk membuat roti terdeformasi membutuhkan gaya yang besar.
Hubungan antara waktu,
tegangan, kerenyahan yaitu semakin banyak waktu yang dibutuhkan pada tekstur
maka tingkat ketegangan sampel tersebut semakin tinggi dan juga tingkat
kerenyahan sampel tersebut akan semakin tinggi pula, sehingga semakin baik
untuk dikonsumsi.
Kurva
14. Perbandingan antara Force dengan waktu pada Wafer
Hasil pengujian
terhadap tingkat hardness wafer dapat
dilihat pada Kurva 6, menunjukkan bahwa nilai kekerasan wafer tertinggi berada
pada 64.0111 N.
Jika dibandingkan
dengan nilai hardness pada kerupuk
yaitu 20.0362 N, nilai hardness pada
wafer jauh lebih tinggi. Nilai kekerasan yang semakin meningkat menggambarkan
tekstur yang kurang renyah si bandingkan produk yang memiliki kekerasan lebih
rendah. Tingkat kekerasan dipengaruhi oeh derajat gelatinisasi, derajat pengembangan,
indeks kelarutan air dan indeks penyerapan air. Derajat gelatinisasi yang
semakin tinggi akan menyebabkan derajat pengembangan semakin tinggi, sehingga
nilai kekerasan menurun (Muchtadi dkk, 1988). Sehingga dapat disimpulkan bahwa
kerupuk lebih renyah dari pada wafer.
Hubungan antara waktu,
tegangan, kerenyahan yaitu semakin banyak waktu yang dibutuhkan pada tekstur
maka tingkat ketegangan sampel tersebut semakin tinggi dan juga tingkat
kerenyahan sampel tersebut akan semakin tinggi pula, sehingga semakin baik
untuk dikonsumsi.
Hasil yang berbeda
pada sampel yang digunakan (biskuit, buah mangga, jelly), disebabkan oleh
beberapa faktor, seperti :
1. Kadar air, semakin tinggi
kadar air, maka sampel akan lebih lunak. Jika kadar air lebih rendah, maka
sampel akan keras.
2. Gula reduksi, semakin tingi
gula reduksi pada sampel, maka sampel akan lebih keras.
3. Gas atau udara pada lingkungan
sekitar dapat mempengaruhi kerapuhan sampel, seperti pada biskuit.
Dari hasil yang
didapatkan setelah pengujian, nilai hardness
dari bakso sebesar 1.173,50 g/mm2, biskuit Roma Malkist sebesar
2.441,00 g/mm2, buah melon madu sebesar 172,50 g/mm2,
buah melon apel sebesar 219,00 g/mm2, tahu curah sebesar 383,50 g/mm2,
dan tahu bermerk sebesar 566,50 g/mm2. Dapat dilihat bahwa nilai hardness paling tinggi terdapat pada
kerupuk. Bila diurutkan dari nilai hardness
tertinggi, maka makanan yang mempunyai tekstur paling keras adalah kerupuk,
Hal ini disebabkan karena beberapa faktor, yaitu crackers tidak menggunakan telur sedangkan biskuit menggunakan
telur sebagai bahan tambahan, serta tepung terigu yang digunakan pada pembuatan
crackers adalah tepung terigu lunak
yang mempunyai kandungan protein yang rendah.
Tepung terigu adalah
bahan utama dalam pembuatan biskuit dan memengaruhi proses pembuatan adonan.
Selama proses pengolahan biskuit menggunakan 100% tepung terigu. Jika
menggunakan tepung terigu protein rendah (8-9%) akan menghasilkan kue yang
rapuh dan kering merata. Crackers menggunakan
tepung terigu berprotein rendah sehingga teksturnya lebih rapuh dan kering,
sedangkan biskuit mempunyai tekstur yang lebih keras (Rohimah, 2014).
Telur yang dipakai
pada pembuatan kue kering bisa kuning telur, putih telur atau keduanya. Kue
yang menggunakan kuning telur saja akan lebih empuk, sebaliknya bila
menggunakan putih telur untuk memberi kelembaban, nilai gizi sekaligus
membangun struktur kue. Telur juga membuat produk lebih mengembang karena dapat
menangkap udara selama pengocokan. Putih telur bersifat sebagai
pengikat/pengeras. Kuning telur bersifat sebagai pengempuk (Rohimah, 2014).
Karena biskuit menggunakan telur sebagai bahan tambahan sedangkan crackers tidak, maka dari itu teksturnya
lebih keras daripada crackers.
Dapat dilihat pada
nilai hardness tahu bermerk lebih
tinggi daripada tahu curah. Hal tersebut dapat disebabkan oleh beberapa faktor,
yaitu ada hubungan yang positif antara struktur jaringan dan tekstur tahu,
yakni dengan pendinginan kedelai dihasilkan struktur tahu yang lebih rapat dan
padat dan menunjukkan nilai parameter tekstur yang lebih tinggi. Kerapatan
jaringan tahu berpengaruh dalam menentukan keras tidaknya tahu yang dihasilkan.
Tekstur pada makanan
sangat ditentukan oleh kadar air, kandungan lemak, dan jenis karbohidrat serta
protein penyusunnya. Kadar air juga dapat mempengaruhi tekstur jika kadar air
tinggi tekstur juga menjadi lembek, selain itu kadar pati juga mempengaruhi
jika kadar pati rendah juga akan menjadikan tekstur menjadi lembek. Daya patah
dipengaruhi juga oleh viskositas adonan suatu bahan, jika viskositas rendah
maka daya patahnya menurun. Kandungan lemak dalam bahan diduga berperan penting
dalam menentukan daya patah. Komposisi unik dari tiap jenis lemak menentukan
kemampuan spesifiknya dalam membentuk tekstur (Singgih dan Harijono, 2015).
Salah satu faktor lain
yang mempengaruhi tekstur bahan adalah porositas bahan. Porositas bahan dapat
diperbesar dengan “puffing”. Inti dari pemakasan bertekanan (puffing) terhadap bahan yang dimasak
adalah perubahan suhu dan tekanan yang terjadi tiba-tiba. Dengan adanya
perubahan tekanan yang terjadi secara tiba-tiba maka akan terjadi pemekaran
pada produk yang dimasak yang berarti juga bahan menjadi porus (Rahayoe, 2009).
Secara fisik, bila
dipegang sampel dodol, belimbing, kerupuk, wafer bertekstur keras sedangkan
sampel bakso, jelly, tahu, roti, mie basah, yoghurt bertekstur kenyal dan agak
lembek. Pengukuran tekstur dilakukan dengan alat texture analyzer jenis LFRA
merk Brookefield yang berfungsi untuk menganalisis tekstur. Tekstur analizer
ini dihubungkan dengan komputer, serta dijalankan dengan program Texture
ProLite. Prinsip dari analisis tekstur adalah memberikan tekanan kepada sampel
dengan menggunakan probe dengan berbagai tipe. Alat tekstur analizer ini akan
merekam data hasil pengujian lalu hasil tersebut akan diubah ke bentuk kurva
profil tekstur.
Berikut adalah komponen-komponen
alat LFRA tekstur analyzer :
1.Scroll: komponen
yang berfungsi untuk mengubah posisi
meja objek (menaikkan atau menurunkan) sesuai dengan tinggi sampel yang akan
diukur teksturnya.
2.Tempat pemasang
probe: komponen yang berfungsi sebagai tempat untuk memasang probe yang
spesifik untuk setiap sampel.
3.Meja objek: komponen
yang berfungsi untuk meletakkan sampel yang akan diukur teksturnya.
4.Tombol On / Off:
komponen ini terletak di bagian belakang alat, yang berfungsi untuk mematikan
atau menghidupkan alat.
5.Komputer: berfungsi
untuk mencatat rekaman gaya deformasi yang mengenai sampel, hasil akhirnya
berupa kurva profil tekstur.
Proses pengukuran
tekstur melibatkan Texture Analyzer, komputer (program Texture ProLite), dan
printer. Program Microsoft ExcelTM juga berperan dalam proses pengukuran
tekstur. Mekanisme kerja Texture Analyzer adalah adanya pencatatan hasil
pengukuran (profil tekstur) ke dalam grafik profil tekstur.
Menurut Johnson dan
Szczesniak (2014) probe merupakan komponen yang berfungsi untuk memberikan gaya
deformasi pada sampel yang akan diukur teksturnya. Macam-macam probe yaitu:
1.Ball probe: berperan
dalam pengukuran kekenyalan sampel, dalam percobaan ini digunakan untuk tahu,
contohnya TA 17.
2.Spherical/Round
probe: berperan dalam pegukuran tekstur keras atau padat, dalam percobaan ini
digunakan untuk crackers, contohnya TA 18.
3.General probe:
berperan untuk pengukuran tekstur sampel yang bersifat keras namun hidroskopis
(mengandung air), dalam percobaan ini digunakan untuk buah, contohnya TA 39.
Pengoperasian alat
Texture Analyzer memiliki tahapan-tahapan, yaitu:
1.Alat Tekstur
Analizer dan komputer dinyalakan.
Pertama, alat dinyalakan dengan
cara menekan tombol on yang ada di bagian belakang alat setelah itu komputer
juga dinyalakan.
2.Probe dipasang pada
tempat probe sesuai sampel yang akan diukur.
3. Jarak antara meja
objek dan probe diatur.
Jarak diatur agar probe tidak sampai mengenai objek. Sampel yang akan diukur
diletakkan di meja objek, lalu diatur jaraknya dengan letak probe kira-kira
±0,5cm dari sampel. Setelah itu sampel diambil kembali, dan pada saat percobaan
untuk mempercepat waktu maka pada meja objek ditambahkan pengganjal agar posisi
sampel lebih tinggi.
4. Program Texture ProLite dibuka.
5. Diklik pada bagian define new test.
6.
Diisi bagian trigger point, test speed, target value, dan probe type.
Trigger point adalah besarnya
gaya yang digunakan beban probe untuk menyentuh sampel, dan pada program diisi
sebesar 20 g. Test speed adalah kecepatan probe menyentuh sampel (semakin cepat
maka semakin rendah tingkat akurasinya), pada program diisi sebesar 0,5 mm/s.
Target value adalah kedalaman probe menyentuh sampel sekitar setengah dari
tebal sampel, dan diisi sesuai dengan ½ ketebalan sampel setelah dihitung
dengan penggaris. Probe type diisi sesuai dengan tipe probe yang digunakan.
7.Ketebalan sampel
diukur menggunakan penggaris.
8. Diisi bagian target
test.
Target test digunakan untuk
menentukan tes yang dilakukan pada sampel. Bila bendanya keras, maka dipilih
compression sedangkan bila bendanya kenyal dipilih TPA. Misalnya, pada uji
pertama menggunakan crackers maka checklist di bagian compression.
9.
Texture Results diisi sesuai parameter sampel.
Bagian primary
calculation diklik semuanya kecuali area cycle 1 dan 2 (untuk pengukuran sampel
crackers dan buah, namun jika sampelnya tahu maka area cycle 1 dan 2 juga
diklik) lalu menu secondary calculation diklik pada bagian work done to
hardness 1. Setelah itu, pada additional calculaltions diklik di bagian sample
length.
10.
Diisi bagian General Results.
Semua bagian standard results dalam tab general results diklik
kecuali special results.
11. Probe dibiarkan berkalibrasi terlebih dahulu.
12. Sampel kembali diletakkan di meja objek.
13. Tombol Run Test diklik untuk menjalankan
pengukuran tekstur.
14. Hasil kurva dicetak dengan printer.
Setelah alat berhenti bekerja, maka akan didapatkan kurva profil
tekstur. Sebelum dapat melihat kurvanya, terlebih dahulu file di save di folder,
kemudian tekan tombol view load/time
chart untuk melihat keseluruhan hasil pengukuran beserta kurvanya
KESIMPULAN
Dalam
praktikum ini dapat disimpulkan bahwa Nilai hardness menunjukkan gaya yang dbutuhkan suatu
sampel sampai mengalami deformasi atau perubahan bentuk. Nilai hardness
terendah yaitu tahu dengan rata-rata sebesar 1.8622 N dan yang tertinggi yaitu
wafer sebesar 64.0111 N. hardness bakso sebesar 25.0612 N, kerupuk sebesar
20.0362 N, roti sebesar 19.3963 N, dodol
sebesar 17.0658 N, beliimbing sebesar 10.1246 N, dan jelly sebesar 9.1676 N.
Nilai cohesiveness
menunjukkan kekuatan ikatan penyusun komponen bahan pangan. Nilai cohesiveness
terbesar yaitu bakso sebesar 0.7187, diikuti dodol sebesar 7.08028, yang
terkecil yaitu jelly sebesar 6.6061. Nilai springiness menyatakan keelastisan
suatu bahan, laju bahan kembali ke keadaan semula setelah terdeformasi. Nilai
springiness tertinggi yaitu jelly sebesar 0.995086, bakso sebesar 0.9320, dan
yang terkecil yaitu dodol sebesar 0.8094.
DAFTAR PUSTAKA
Hellyer,
J. 2004. Quality Testing with
Instrumental Texture Analysis in Food Manufactering. http://www.
Labplusinternational.com. (diakses 5 Juni 2016).
Ihekoronye,A.J.,
dan Ngoddy,P.O. 1985. Integrated Food
Science and
Technology
for the Tropics. Macmillan Publs, Ltd.
Astawan, Wisnu. 1998. Kedelai: Khasiat dan Teknologi.
Bumi Aksara. Jakarta.
Handoko, T. 2011. Pengaruh
Jenis Daging, Jenis Tepung Beras, dan Rasio dalam Formulasi dan Rheologi Adonan
Pakan Anjing. http://journal.unpar.ac.id/index.php/rekayasa/article/viewFile/118/105.
Diakses pada 12 Juni 2016.
Irawati, R,2001. Pembuatan Dodol Waluh (Kajian
Penambahan Tepung Ketan dan Terigu Serta Gula Pasir) Tehadap Sifat Fisik, Kimia
dan Organoleptik. Skripsi Fakulta Teknologi Pertanian. Universitas Brawijaya.
Malang.
Kim, S.K.
2014. Seafood Science: Advances in
Chemistry, Technology, and Application. CRC Press, USA.
Muchtadi, D. N. dan Yuwono, S. S. 2014. Penentuan
Atribut Mutu Tekstur Tahu
untuk
Direkomendasikan Sebagai Syarat Tambahan
dalam Standar Nasional Indonesia. Jurnal
Pangan dan Agroindustri 2(4): 259–267.
Rohimah, I. 2014. Analisis
Energi Dan protein Serta Uji Daya Terima Biskuit hTepung Labu Kuning dan Ikan
Lele. http://repository.usu.ac.id/bitstream/
Makfoeld,
D., Marseno, D., Hastuti, P., Anggrahini, S., Raharjo, S., Sastrosuwignyo, S.,
Suhardi., Martoharsono, S., Hadiwiyoto, S., dan Tranggono. 2002. Kamus Istilah Pangan dan Nutrisi. Kanisius,
Yogyakarta.
Pratama,
R. I., Rostini, I., dan Liviawaty, E. 2014. Karakteristik Biskuit dengan
Penambahan Tepung Tulang Ikan Jangilus (Istiophorus
sp.). Jurnal Akuatika 5(1):
30–39.
Rahayoe,
S., Rahardjo, B., dan Wahid, A. 2009. Model Kinetika Perubahan Sifat Mekanis
Ubi Kayu (Manihot esculenta Crantz)
Selama Pemasakan
No comments:
Post a Comment