Yoga Jati Pratama
240210140003
Kelompok 1A
V. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN
Protein merupakan suatu zat makanan yang sangat penting
bagi tubuh karena zat ini berfungsi sebagai sumber energi dalam tubuh serta
sebagai zat pembangun dan pengatur. Protein adalah polimer dari asam amino yang dihubungkan dengan ikatan
peptida. Molekul protein mengandung unsur-umsur C, H, O, N, P, S, dan terkadang
mengandung unsur logam seperti besi dan tembaga (Winarno, 1992).
Sebagai zat pembangun protein merupakan bahan
pembentuk jaringan-jaringan baru yang menggantikan jaringan yang telah rusak.
Selain itu protein juga dapat digunakan sebagai bahan bakar apabila energi
tubuh tidak terpenuhi oleh lemak dan karbohidrat. Protein memiliki beberapa
sifat yang sangat berpengaruh kepada makanan, seperti :
·
Perbedaan rasa
dan tekstur beberapa jenis daging, disebabkan oleh terjadinya kombinasi asam
amino dalam pembentukan molekul protein.
·
Konfigurasi
protein dapat diubah dengan perlakuan fisik maupun kimia, karena dapat
terdenaturasi bila dipanaskan dan menghasilkan zat lain.
·
Protein dapat
mengalami degradasi yaitu pemecahan molekul kompleks menjadi molekul yang lebih
sederhana.
Protein banyak terkandung di dalam makanan yang sering
dikonsumsi oleh manusia seperti pada tempe, tahu, ikan dan lain sebagainya. Secara
umum, sumber protein berasal dari nabati dan hewani. Protein sangat penting bagi kehidupan
organisme pada umumnya, karena ia berfungsi untuk memperbaiki sel-sel
tubuh yang rusak dan suplai nutrisi yang dibutuhkan tubuh, oleh karena itu seorang ahli pangan
harus memahami sifat-sifat protein untuk menentukan proses pengolahan yang
tepat.
Bobot
molekulnya berkisar dari 6000 sampai beberapa juta. Molekul protein terdiri
dari satu atau beberapa panjang polipeptida dari asam-asam amino yang terikat
dengan urutan yang khas. Urutan ini dinamakan struktur primer dari protein.
Polipeptida ini dapat melipat atau menggulung. Sifat dan banyaknya pelipatan
menyebabkan timbulnya struktur sekunder. Bentuk tiga dimensi dari polipeptida
yang menggulung atau melipat ini dinamakan struktur tersier. Struktur kuartener
muncul dari hubungan struktural beberapa polipeptida yang terlibat.
Beberapa uji pada protein seperti pewarnaan dengan
reaksi biuret dan reaksi ninhidrin, denaturasi dan koagulasi, mengetahui titik isoelektrik,
sifat koagulasi protein dengan pembentukan endapan dengan asam dan alkali serta
pembentukan endapan garam dan logam berat dan salting out pada protein dilakukan dalam praktikum kali ini.
5.1 Reaksi
Pewarnaan
Suatu
protein atau asam amino dapat memberikan warna yang khas dengan pereaksi
tertentu. Reaksi pewarnaan yang dilakukan adalah uji biuret dan uji ninhidrin.
5.1.1 Biuret
Biuret merupakan salah
satu reaksi yang digunakan untuk mengidentifikasi adanya protein atau tidak
dalam sampel. Prinsip dari percobaan ini adalah protein harus memiliki
sedikitnya dua ikatan peptida yang bila bereaksi dengan Cu2+ akan
menghasilkan kompleks Cu- NaOH. Reaksi berjalan positif bila Cu- NaOH berwarna
ungu menunjukkan zat yang mengandung dua atau lebih ikatan peptida. Sedangkan
reaksi negative untuk asam amino yang tidak mempunyai ikatan peptida atau yang
hanya mengandung 1 ikatan peptida.
protein + Cu2+ →
kompleks Cu-NaOH
Uji biuret ini
dilakukan dengan tujuan untuk menentukan adanya senyawa-senyawa yang mengandung
gugus amida asam. Biuret adalah suatu zat yang dihasilkan apabila urea
dipanaskan pada suhu ± 180oC.
Reaksi ini dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya ikatan peptida dalam
protein. Pada percobaan, dapat dilihat albumin diteteskan larutan NaOH 10% dan
larutan CuSO4. Warna yang terbentuk dari reaksi biuret kemungkinan
berasal dari kompleks antara ion Cu2+ dengan gugus –CO dan –NH
ikatan peptida dalam suatu alkalis. Tujuan dari pelaksanaan reaksi biuret
adalah untuk mengetahui adanya ikatan peptida.
Prosedur yang dilakukan adalah dengan penambahan 1 ml albumin, 1 ml NaOH,
dan 1 tetes CuSO4 0,1%.
Fungsi dari reagen NaOH adalah untuk mencegah endapan Cu(OH)2,
memecah ikatan protein sehingga terbentuk urea, sebagai katalisator, dan
menjadikan suspensi protein bernuansa alkalis.
Sedangkan fungsi dari CuSO4
adalah sebagai donor Cu2+ yang akan menghasilkan warna ungu.
Dasar dari reaksi
biuret adalah terjadinya warna ungu
apabila reaksi positif karena adanya kompleks yang terjadi antara ikatan peptida dengan O dari air. Reaksi ini disebut reaksi biuret karena positif terhadap
biuret (kondensasi 2 molekul urea).
Reaksi juga positif terhadap senyawa organik yang mempunyai gugus CO(NH2),
SC(NH2), NHC(NH2), H2C(NH2). Pada
ikatan peptida panjang akan menunjukkan
warna ungu sedangkan pada ikatan peptida pendek akan menunjukkan warna biru. Jika
biuret berwarna ungu, hal tersebut membuktikan bahwa pada larutan tersebut
mengandung dua atau lebih ikatan peptida. Sedangkan jika tidak menimbulkan
warna ungu, maka larutan yang diujikan tersebut tidak mempunyai ikatan peptida,
atau hanya memiliki satu ikatan peptida.
Sedikit tambahan polipeptida mempuyai perbedaan dengan
protein. Polipeptida mempunyai residu asam amino ≤ 100 dan dan bobot mulekul ≤
6.000. Sedangkan, pada protein residu asam amnionya ≥ 100 dan bobot mulekulnya
≥ 6.000.
Tabel 1. Hasil Pengamatan Uji Biuret
Kelompok
|
Sampel
|
Perubahan
Warna
|
+/-
|
1
|
Albumin
|
Dari bening
menjadi ungu muda
|
+
|
2
|
Urea
|
Menjadi
warna ungu
|
+
|
3
|
Albumin
|
Dari bening menjadi ungu muda
|
+
|
4
|
Albumin
|
Dari bening
menjadi ungu muda
|
+
|
5
|
Albumin
|
Dari bening menjadi ungu muda
|
+
|
6
|
Albumin
|
Dari bening
menjadi ungu
|
+
|
7
|
Urea
|
Menjadi warna ungu
|
+
|
8
|
Albumin
|
Dari bening
menjadi ungu muda
|
+
|
9
|
Urea dipanaskan
|
Dari
bening menjadi ungu berbayang
|
+
|
(Sumber:
Dokumentasi Pribadi, 2015)
Dalam percobaan kali
ini albumin ditambahkan NaOH sebagai pencipta suasana basa, karena reaksi
pembentukan Cu2+ dengan gugus –OH dan –NH dari ikatan peptida
bekarja dalam suasana basa. Hal ini disebabkan karena dalam suasana basa pada
proses pembentukan kompleks, ligan yang terlibat dapat melepaskan proton
seluruhnya sehingga kesempatan ligan untuk berikatan dengan ion logam lebih
besar dibandingkan dalam suasana asam yang pengikatan proton oleh ligan cukup
besar.
Penambahan
CuSO4 dimaksudkan sebagai sumber Cu2+ yang bertindak
sebagai logam akseptor elektron dari gugus –NH dari peptida dan oksigen dalam
air, yang membentuk ikatan koordinasi dan membentuk warna ungu. Penambahan CuSO4
ini harus diperhatikan, tidak boleh terlalu sedikit karena akan kekurangan Cu2+
dan tidak boleh terlalu banyak karena akan menyebabkan denaturasi protein oleh
logam berat.
Berdasarkan tabel hasil
pengamatan di atas albumin menunjukkan reaksi yang berarti pada larutan
tersebut mengandung dua atau lebih ikatan peptida. Pada akhir percobaaan dihasilkan
biuret berwarna ungu transparan setelah albumin tercampur dengan NaOH dan CuSO4.
terbentuknya warna ungu menandakan bahwa larutan tersebut mempunyai ikatan peptida.
5.1.2 Ninhidrin
Reaksi Ninhidrin
dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui apakah dalam suatu makanan, atau suatu
zat mengandung asam amino atau tidak. Ninhidrin merupakan suatu senyawa
oksidator yang sangat kuat, yang bereaksi dengan suam asam amino pada pH 4-8
dan jika bereaksi dengan asam amino, maka akan menghasilkan warna ungu, jika
terbenyuk warna kuning berarti asam amino yang terbentuk adalah protein,
sedangkan yang terbentuk warna ungu maka asam amino yang terbentuk adalah
alanine, leusin, metionin, dll..
Semua asam amino alfa
bereaksi dengan ninhidrin membentuk aldehida dengan satu atom C lebih rendah
dan melepaskan NH3 dan CO2. Disamping itu, terbentuk
kompleks berwarna biru yang disebabkan oleh dua molekul ninhidrin yang bereaksi
dengan NH3 setelah asam amino tersebut dioksidasi. Garam-garam
ammonium, amina, peptida, dan protein juga bereaksi tetapi tanpa melepaskan CO2
dan NH3.
Pada asam amino, gugus
(-COOH) dan (-NH2) nya masing-masing dapat bereaksi, misal dengan
pembentukkan garam, esterifikasi dan asilasi. Reaksi umum untuk menunjukkan
adanya asam amino adalah reaksi ninhidrin. Ninhidrin adalah suatu oksidator
yang menyebabkan dekarboksilasioksidatif dari asam alfa amino, menghasilkan CO2,
NH3 dan aldehid yang rantai C-nya lebih pendek satu atom C daripada
asam amino asalnya (Murray, 2000).
Ninhidrin yang
tereduksi kemudian bereaksi dengan NH3 yang dibebaskan membentuk
senyawa kompleks berwarna biru dengan absorpsi warna maksimum pada panjang
gelombang 570 nm. Cara ini dapat dipakai untuk mengukur kadar asam amino.
Senyawa asam amino, kecuali asam amino dapat memberi reaksi ninhidrin positif,
tetapi tanpa pembentukkan CO2 asam-asam amino aromatis, seperti triptofan,
tirosin, histidin dan fenil alanin menyerap sinar ultraviolet.
Serapan sinar
ultraviolet oleh protein kebanyakan ditentukan oleh kandungan triptofannya.
Bermacam-macam asam amino dapat diidentifikasi dengan reaksi warna khusus,
karena reaksi warna khusus ini positif untuk gugus tertentu pada rantai R-nya
bukan untuk gugus (-COOH) ataupun (-NH2)nya.
Reaksi pada
ninhidrin :
Tabel 2. Hasil Pengamatan Uji Ninhidrin
Kelompok
|
Sampel
|
Sebelum
|
Sesudah
|
+/-
|
1
|
Albumin
|
Bening
|
Ungu Berbayang
|
+
|
2
|
Albumin
|
Keruh
|
Terbentuk
endapan
|
+
|
3
|
Albumin
|
Bening
|
Ungu berbayang
|
+
|
4
|
Albumin
|
Bening
|
Ungu berbayang
|
+
|
5
|
Albumin
|
Bening
|
Ungu
muda
|
+
|
6
|
Urea
|
Bening
|
Kuning
|
+
|
7
|
Urea
|
Berwarna Bening
|
Berwarna Kuning
|
+
|
8
|
Urea
|
Berbentuk butiran
berwarna putih
(Tidak di dokumentasikan)
|
Kuning
|
+
|
9
|
Gelatin
|
Bening
(Tidak di dokumentasikan)
|
Kuning berbayang
|
+
|
(Sumber:
Dokumentasi Pribadi, 2015)
Berdasarkan hasil
pengamatan, dapat dilihat bahwa larutan albumin tidak menghasilkan warna ungu
tetapi menghasilkan warna putih keruh dan terdapat gumpalan putih. Seharusnya
albumin dapat membentuk warna ungu setelah diberi perlakuan penambahan buffer
asetat, ninhidrin dan pemanasan karena albumin mengandung asam amino. Kesalahan
ini dapat terjadi karena ketidaktelitian
praktikan saat melakukan praktikum. Selain itu, dapat juga diakibatkan
kesalahan pada saat melakukan pengamatan dan juga dapat disebabkan kadar asam
amino yang kurang mencukupi untuk membentuk perubahan warna. Namun, tidak semua
kelompok mendapatkan hasil yang sama seperti contohnya kelompok 1 untuk
ninhidrin kelompok tersebut berhasil membuat alumin berubah menjadi ungu
setelah diberi penambahan buffer asetat meskipun perubahan warna tersebut hanya
sedikit atau tidak terlalu jelas hal tersebut dapat disebabkan kadar asam amino
yang kurang mencukupi untuk membentuk perubahan warna tersebut.
5.2 UJi Koagulasi
Protein
Koagulasi protein
adalah pengikatan kembali pada gugus reaktif yang sama atau berdekatan, unit
ikatan yang terbentuk cukup banyak sehingga protein tidak dapat terdipersi
tidak lagi sebagai suatu koloid (Winarno, 1992). Protein bersifat amfoter yaitu
dapat bereaksi dengan asam maupun basa (alkali). Daya reaksinya tergantung dari
jumlah dan letak gugus amino dan karboksil dalam molekul. Pada pH tertentu,
protein akan bereaksi dan menimbulkan endapan. Pembentukan endapan pada protein
sangat penting dalam usaha untuk memisahkan larutan campuran seperti kasein dari susu serta untuk
mengisolasi enzim tertentu seperti papain dari buah papaya.
5.2.1 Pembentukan Endapan dengan Asam dan
Alkali
Pembuktian pembentukan
endapan dilakukan dengan percobaan menggunakan sampel albumin dan gelatin Kedua
sampel diberi perlakuan dengan ditambahkan 3 jenis larutan yaitu HCl, CH3COOH,
dan NaOH. Setelah itu dilakukan beberapa perlakuan : pada saat awal, didiamkan
90 menit lalu dipanaskan 5 menit.
Pengendapan
protein penting untuk memisahkan protein dari suatu larutan. Pengendapan
protein dapat dilakukan dengan penambahan asam, alkali atau juga dengan cara
penambahan garam dari logam berat.
Protein
bersifat mengendap dalam asam mineral pekat seperti asam klorida (HCl), asam
sulfat (H2SO4), dan asam nitrat (HNO3).
Sebaliknya, basa tidak dapat mengendapkan protein namun mampu menghidrolisis dan dekomposisi oksidatif.
Gambar 4.2.1 Denaturasi protein akibat asam
atau basa.(Ophart, C.E., 2003)
Tabel 3. Hasil Pengamatan Pembentukan Endapan
dengan Asam dan Alkali
Kelompok
|
Sampel
|
Perlakuan
|
Setelah
penambahan
|
Setelah
90’
|
Setelah
pemanasan
|
1
|
Albumin
|
H2SO4
1 n
|
Bening
|
Putih Keruh
dan terdapat endapan putih yang mengapung
|
Putih keruh dan
terdapat endapan putih yang mengapung
|
2
|
Albumin
|
KOH
|
Bening
|
Bening
|
Bening
|
3
|
Albumin
|
NaOH 4N
|
Bening
|
Terdapat endapan putih
|
|
4
|
Albumin
|
Asam Asetat
|
Bening
|
Ada endapan
|
Ada endapan
|
5
|
Albumin
|
HCl
|
Bening
|
Putih keruh dan terdapat endapan putih yang
melayang
|
Putih keruh dan terdapat endapan putih yang
melayang
3
|
6
|
Gelatin
|
H2SO4
1 N
|
Bening tidak ada
endapan
|
Terbentuk endapan
putih melayang
|
Terbentuk endapan
putih melayang
|
7
|
Gelatin
|
KOH
|
Belum terbentuk
|
Terbentukan endapan melayang berwarna putih
|
Terbentukan endapan melayang berwarna putih
|
8
|
Gelatin
|
Koagulen NaOH 4N
|
Bening
|
Bening sedikit
keruh dan endapan melayang
|
Kekuningan
berbayang agak keruh dan endapan melayang
|
9
|
Gelatin
|
As. Asetat glasial
|
Bening, tidak ada endapan
|
Bening, tidak ada endapan
|
Bening, tidak ada endapan
|
(Sumber:
Dokumentasi Pribadi, 2015)
Berdasarkan hasil
pengamatan sampel gelatin setelah ditambahkan NaOH pekat terjadi perubahan
bertambahnya endapan setelah didiamkan 90 menit, kekeruhan terjadi setelah
gelatin + NaOH diapanaskan, akan tetapi tidak terdapat perubahan saat pengujian
gelatin + HCl. Sedangkan sampel albumin setelah didiamkan 90 menit dan setelah
dipanaskan terbentuk kekeruhan pada albumin yang ditambahkan HCl sedangkan
albumin yang ditambahkan asam asetat dan NaOH tetap bening. Adanya kekeruhan
pada albumin yang ditambahkan HCl menunjukkan bahwa albumin tidak larut dalam
asam berkonsentrasi tinggi. Sedangkan pada gelatin yang ditambahkan ketiga
larutan, ada yang tidak terjadi perubahan sedikit pun. Hal ini dikarenakan
terlalu kecilnya konsentrasi dari sampel tersebut.
Menurut Poedjiadi
(1994), titik isolistrik pada albumin adalah pada pH 4,55
- 4,90. Penambahan HCl juga dapat
menurunkan pH namun tidak menunjukkan adanya endapan, hal ini karena pH setelah
penambahan HCl lebih kecil dari titik isoelektrik albumin sehingga albumin
larut dalam bentuk ion. Albumin merupakan protein yang larut dalam air Menurut Poedjiadi (1994), protein yang larut dalam air
akan membentuk ion yang mempunyai muatan positif dan negatif. Dalam suasana
asam molekul protein akan membentuk ion positif, sedangkan dalam suasana basa
akan membentuk ion negatif.
Berdasarkan cara pembuatannya, gelatin dapat
dibagi menjadi dua tipe, yaitu gelatin tipe A dan tipe B. Gelatin tipe A
diperoleh dari bahan-bahan yang diproses secara asam. Gelatin tipe B diperoleh
dari proses secara basa. Gelatin tipe A memiliki titik isoelektrik 7,0-9,0 dan
geltin tipe B memiliki titik isoelektrik 4,7-5,1.
5.2.2 Pembentukan
Endapan dengan Garam dan Logam Berat
Garam logam berat
seperti Ag, Pb, dan Hg akan membentuk endapan logam proteinat. Ikatan yang
terbentuk amat kuat dan akan memutuskan jembatan garam, sehingga protein
mengalami denaturasi. Secara bersama gugus –COOH dan gugus –NH2 yang
terdapat dalam protein dapat bereaksi dengan ion logam berat dan membentuk
senyawa kelat. Ion-ion tersebut adalah Ag+, Ca2+, Zn2+,
Hg2+, Fe2+, Cu2+, Co2+, Mn2+
dan Pb2+. Selain gugus –COOH dan gugus –NH2, gugus –R
pada molekul asam amino tertentu dapat pula mengadakan reaksi dengan ion atau
senyawa lain. Gugus sulfihidril (-SH) pada molekul sistein akan bereaksi dengan
ion Ag+ atau Hg2+ (Poedjiadi, 1994).
Garam-garam dari logam
berat seperti Hg2+, Ag+ dan Pb2+ dapat berikatan dengan gugus –SH dari protein.
Disamping itu dapat membentuk ikatan yang sangat kuat dengan gugus –COO- dari
asam aspartat dan asam glutamate yang terdapat dalam molekul protein pecah
sehingga proteinnya sendiri akan mengendap. Dengan terjadinya pengendapan atau
disebut juga koagulasi, protein mengalami perubahan konformasi serta posisinya
sehingga aktivitasnya berkurang atau kemampuannya untuk menunjang aktivitas
organ tubuh tertentu akan hilang. (Poedjiadi, 1994)
Garam logam berat
sangat berbahaya bila sampai tertelan karena garam tersebut akan mendenaturasi
sekaligus mengendapkan protein sel-sel tubuh. Hal ini seperti denaturasi oleh
raksa (Hg) untuk pemurnian emas yang terjadi di Minamata, Jepang.
Putih telur dapat
digunakan sebagai antidotum terhadap keracunan logam berat karena putih telur
mengandung albumin, sehingga apabila tubuh keracunan logam berat maka ion logam
berat tersebut akan bereaksi dengan albumin membentuk koagulan sehingga logam
berat tersebut tidak akan mengganggu atau merusak aktivitas enzim lain di dalam
tubuh.
Sampel
yang digunakan untuk pembentuk endapan garam dan logam berat adalah albumin dan
gelatin. Albumin adalah protein yang mempunyai berat molekul yang kecil dan
bersifat larut dalam air. Kedua sampel tersebut ditambahkan logam berat yaitu, CuSO4
0,1%, CuSO4 0,2%, FeCl30,2%, HgCl2 0,2%, dan
PbAc 0,2% Berikut hasil pengamatan dari kedua sampel :
Tabel 4. Hasil Pengamatan Pembentukan Endapan
dengan Garam dari Logam Berat
Kelompok
|
Sampel
|
Larutan
|
Sebelum
|
Sesudah
|
1
|
Albumin
|
PbAc
|
Bening
|
Putih keruh, ada
endapan
|
2
|
Albumin
|
CuSO4
|
Bening
|
Keruh
|
3
|
Albumin
|
FeCl3
|
Bening
|
Endapan, warna kuning
|
4
|
Albumin
|
HgCl2
|
Bening
|
Keruh, ada
endapan
|
5
|
Albumin
|
ZnAc
|
Bening
|
Putih keruh, ada endapan putih melayang
|
6
|
Gelatin
|
PbAc
|
Bening tidak ada
endapan
|
Bening, ada
endapan putih melayang
|
7
|
Gelatin
|
CuSO4
|
Bening
|
Berwarna kebiruan dan terdapat endapan
|
8
|
Gelatin 2%
|
FeCl3
|
Bening
|
Kuning Keorenan
terdapat endapan
|
9
|
Gelatin
|
HgCl2
|
Bening
|
Putih keruh, sedikit endapan
|
(Sumber:
Dokumentasi Pribadi, 2015)
Berdasarkan Uraian di atas menunjukkan bahwa pengendapan dengan ion logam dipengaruhi oleh gugus yang terkandung dalam asam amino penyusunnya. Berdasarkan hasil praktikum tidak ada endapan yang diperoleh setelah penambahan FeCl3, diiukti PbAc, Hg Cl2, maupun CuSO4. Gelatin sendiri memiliki komposisi sebagai berikut:
Gambar
3. Komposisi Gelatin
Logam
dapat bereaksi dengan gugus R yang bermuatan negatif. Selain itu, logam juga
dapat mengendapkan protein dengan cara bereaksi dengan gugus –SH. Protein
mengalami denaturasi karena ikatan yang terbentuk amat kuat dan akan memutuskan
jembatan garam. Oleh karena itu, logam berat sangat berbahaya jika sampai
termakan karena garam logam tersebut akan mendenaturasi sekaligus mengendapkan
protein sel-sel tubuh.
Berdasarkan hasil
pengamatan dapat dilihat hampir semua sampel mempunyai endapan dan berwarna
putih keruh, Menurut literature seperti yang dilakukan oleh asam, logam berat
juga mampu mengendapkan protein, namun tergantung pada suhu dan jenis
elektrolitnya. Pada dasarnya albumin dan
gelatin merupakan protein yang bersifat polar dan larut dalam air. Oleh karena
itu saat ketika diberikan larutan yang bersifat nonpolar seperti asam, basa,
ataupun logam berat tidak akan terjadi homogenisasi sehingga timbullah endapan,
warna keruh, dan gumpalan.
Bahwa reaksi antara
logam berat dan albumin menghasilkan endapan pada penambahan semua jenis logam
berat. Hal ini menunjukkan logam berat yang ditambahkan semuanya bersifat
reaktif dengan albumin. Viskositas sel protein seperti gelatin bervariasi
tergantung faktor-faktor seperti ukuran molekul, bentuk molekul, suhu, derajat
hidrasi, konsentrasi dan pH.
5.3 Denaturasi dan Koagulasi
Denaturasi
adalah suatu proses dimana terjadi perubahan-perubahan dalam struktur ruang
suatu protein, dari suatu konformasi alami (native
convormation) menjadi suatu konformasi yang kurang beraturan. Jadi pada proses
ini terjadi perubahan pada struktur sekunder dan tersier. Sedangkan struktur
primer tetap dipertahankan (dengan kata lain, ikatan peptida tidak terputus)
dari arena itu sekuensi asam amino juga tidak mengalami perubahan.
Denaturasi
protein dapat diartikan suatu perubahan atau modifikasi terhadap struktur
sekunder, tertier dan kuartener molekul protein tanpa terjadinya pemecahan
ikatan-ikatan kovalen. Karena itu, denaturasi dapat diartikan suatu proses
terpecahnya ikatan hidrogen, interaksi hidrofobik, ikatan garam dan terbukanya
lipatan atau wiru molekul protein (Winarno, 1992).
Denaturasi
protein meliputi gangguan dan kerusakan yang mungkin terjadi pada struktur
sekunder dan tersier protein. Sejak diketahui reaksi denaturasi tidak cukup
kuat untuk memutuskan ikatan peptida, dimana struktur primer protein tetap sama
setelah proses denaturasi. Denaturasi terjadi karena adanya gangguan pada
struktur sekunder dan tersier protein. Pada struktur protein tersier terdapat
empat jenis interaksi yang membentuk ikatan pada rantai samping seperti; ikatan
hidrogen, jembatan garam, ikatan disulfida dan interaksi hidrofobik non polar,
yang kemungkinan mengalami gangguan. Denaturasi yang umum ditemui adalah proses
presipitasi dan koagulasi protein (Ophart, 2003).
Denaturasi
dan koagulasi dapat dibedakan sebagai berikut. Denaturasi protein adalah suatu
keadaan telah terjadinya perubahan struktur protein yang mencakup perubahan
bentuk dan lipatan molekul, tanpa menyebabkan pemutusan atau kerusakan lipatan
antar asam amino dan struktur primer protein. Koagulasi adalah denaturasi
protein akibat panas dan alkohol (Winarno, 1992).
Pemanasan
akan menyebabkan denaturasi pada protein. Panas akan memutuskan ikatan-ikatan
hidrogen dan ikatan-ikatan disulfida. Sekalipun demikian, ada beberapa jenis
protein yang tidak mengalami denaturasi sebagai akibat pemanasan, yaitu gelatin
dan kasein.
Tabel 5. Hasil Pengamatan Denaturasi dan Koagulasi
Kelompok
|
Larutan
buffer
|
t
|
Setelah
dikocok
|
Setelah
dipanaskan
|
1
|
pH 5
|
0’
|
Putih keruh
|
Putih keruh
|
5’
|
Putih keruh
|
Putih keruh
|
||
15’
|
Putih keruh
|
Putih keruh
|
||
2
|
pH 3,8
|
0’
|
Keruh
|
Keruh
|
|
|
5’
|
Keruh
|
Keruh
|
|
|
15’
|
Keruh
|
Keruh
|
3
|
pH 5,3
|
0’
|
Keruh +
|
Keruh +
|
5’
|
Keruh +
|
Keruh +
|
||
15’
|
Keruh +
|
Keruh +
|
||
4
|
pH 4,7
|
0’
|
Keruh
|
Bening, ada
endapan
|
5’
|
Keruh
|
Bening, ada
endapan
|
||
15’
|
Keruh
|
Bening, ada
endapan
|
||
5
|
pH 6
|
0’
|
Bening +
|
Bening +++
|
5’
|
Bening +
|
Bening +++
|
||
15’
|
Bening +
|
Bening +++
|
||
6
|
pH 5
|
0’
|
Putih keruh
|
Putih keruh
|
5’
|
Putih keruh
|
Putih keruh
|
||
15’
|
Putih keruh
|
Putih keruh
|
||
7
|
pH 3,8
|
0’
|
Putih keruh
|
Terdapat endapan berwarna putih
|
5’
|
Putih keruh
|
|
||
15’
|
Putih keruh +, ada uap di dinding tabung
|
|
||
8
|
pH 5,3
|
0’
|
Putih keruh
|
Putih keruh
|
5’
|
Putih keruh
|
Putih keruh
|
||
15’
|
Putih keruh dan terdapat
uap air
|
Putih keruh ++
|
||
9
|
pH 4,7
|
0’
|
Putih bening
|
Putih bening
|
5’
|
Putih keruh
|
Putih keruh
|
||
15’
|
Putih kerus, ada endapan
|
Putih kerus, ada endapan
|
(Sumber:
Dokumentasi Pribadi, 2015)
Perubahan pH dapat menyebabkan koagulasi, yang
berhubungan dengan titik isoelektrik protein tersebut. Pengujian didasari oleh
penurunan kelarutan yang ditandai dengan adanya endapan setelah penambahkan
buffer asetat dengan berbagai pH, lalu dilakukan pemanasan. Sampel yang
digunakan adalah kasein. Berdasarkan hasil pengamatan endapan paling banyak diperoleh
pada pH 4,7, dan pada pH 5 adanya endapan , tetapi pada pH 5,3
dan 6 tidak ada endapan. Hasil ini tidak sesuai dengan literatur, menurut Buckle
et al. (1987), partikel kasein berada
pada titik isoelektis pada pH 4,6. Pada pH tersebut afinitas partikel terhadap
air menurun, dan oleh karenanya akan terjadi pengendapan, dan kasein mengalami
ketidakstabilan pada pH 5,3.
Setelah dipanaskan endapan terbentuk lebih banyak,
karena pemanasan
dapat menyebabkan denaturasi protein. Panas dapat digunakan untuk mengacaukan ikatan hidrogen dan interaksi
hidrofobik non polar. Hal ini terjadi karena suhu tinggi dapat meningkatkan
energi kinetik dan menyebabkan molekul penyusun protein bergerak atau bergetar
sangat cepat sehingga mengacaukan ikatan molekul tersebut. Protein telur
mengalami denaturasi dan terkoagulasi selama pemasakan. Beberapa makanan
dimasak untuk mendenaturasi protein yang dikandung supaya memudahkan enzim
pencernaan dalam mencerna protein tersebut.
Pemanasan akan
membuat protein bahan terdenaturasi sehingga kemampuan mengikat airnya menurun.
Hal ini terjadi karena energi panas akan mengakibatkan terputusnya interaksi
non-kovalen yang ada pada struktur alami protein tapi tidak memutuskan ikatan
kovalennya yang berupa ikatan peptida. Proses ini biasanya berlangsung pada
kisaran suhu yang sempit.
Berdasarkan
tabel hasil pengamatan, terlihat bahwa secara umum larutan tidak mengalami
perubahan yang signifikan setelah didiamkan selama 10 menit. Namun, setelah
mengalami pemanasan, sampel mengalami perubahan yang cukup jelas. Perubahan
yang secara umum terjadi adalah timbulnya gumpalan dan endapan pada larutan
sampel setelah pemanasan. Larutan secara umum bertambah keruh dan terbentuk
endapan setelah mengalami pemanasan.
Selain itu, endapan kasein yang sebelumnya tampak menjadi semakin berkurang
setelah mengalami pemanasan. Pada pemanasan ini, seharusnya tidak terjadi
perubahan pada larutan kasein tidak akan mengalami proses denaturasi akibat
dari pemanasan.
Kemungkinan
kesalahan terjadi karena ketidaktelitian praktikan saat melakukan praktikum.
Selain itu, dapat juga diakibatkan kesalahan pada saat melakukan pengamatan
ataupun akibat pemanasan yang berlebihan sehingga tampak perubahan seperti
terjadi denaturasi atau koagulasi.
Perubahan
pH juga akan menyebabkan denaturasi pada protein, perubahan pH dapat dilakukan
dengan penambahan asam maupun basa. Perubahan pH ini akan menimbulkan pemutusan
ikatan-ikatan ionik.
Berdasarkan
hasil pengamatan terbukti bahwa perubahan nilai pH juga dapat menyebabkan
perubahan pada sampel protein (kasein). Perubahan ini menunjukkan terjadinya
peoses denaturasi protein pada kasein. Pada pH yang makin tinggi (semakin tidak
asam), larutan menjadi semakin keruh. Bahkan pada pH di atas 5, sampel kasein
sudah berubah warna menjadi putih susu. Perubahan warna ini menujukkan bahwa
pada pH yang semakin asam, maka akan terjadi denaturasi protein akibat
pemutusan ikatan-ikatan ionik.
Selain
pemanasan dan perubahan pH, masih banyak faktor lain yang dapat menyebabkan
denaturasi protein. Faktor lainnya adalah pembekuan, agitasi/pengocokan,
penambahan detergen, penambahan zat pelarut (misalnya alkohol), dan juga karena
penambahan garam.
5.4 Titik
Isoelektrik
Seperti asam amino,
protein yang larut dalam air akan membentuk ion yang mempunyai muatan positif
dan negatif. Dalam suasana asam molekul protein akan membentuk ion positif,
sedangkan dalam suasana basa akan membentuk ion negatif. Pada titik isoelektrik
protein mempunyai muatan positif dan negatif yang sama, sehingga tidak bergerak
ke arah elektroda positif maupun negatif apabila ditempatkan di antara kedua
elektroda tersebut (Murray, 2000).
Titik isoelektrik
adalah keadaan protein dalam pH tertentu dimana muatan gugus amino dan
karboksil bebas akan saling menetralkan sehingga molekul bermuatan nol. Adanya
gugus amino bebas dan gugus karboksil bebas pada ujung-ujung rantai molekul
protein menyebabkan protein bersifat amfoter, sehingga dapat bereaksi dengan
asam ataupun basa. Protein mempunyai titik isolistrik yang berbeda-beda. Titik
isoelektrik protein mempunyai arti penting karena pada umumnya sifat fisika dan
kimia erat hubungannya dengan pH isoelektrik ini. Pada pH di atas titik
isolistrik protein bermuatan negatif, sedangkan di bawah titik isoelektrik,
protein bermuatan positif. Titik isoelektrik pada albumin adalah pada pH
4,55-4,90 (Poedjiadi, 1994).
Adanya gugus amino dan
karboksil bebas pada ujung-ujung rantai molekul protein, menyebabkan protein
mempunyai banyak muatan (polielektrolit) dan bersifat amfoter (dapat bereaksi
dengan asam maupun basa). Daya reaksi berbagai jenis protein terhadap asam dan
basa tidak sama, tergantung dari jumlah dan letak gugus amino dan karboksil
dalam molekul.
Dalam larutan asam (pH
rendah), gugus amino bereaksi dengan H+, sehingga protein bermuatan
positif. Sebaliknya, dalam larutan basa (pH tinggi) molekul protein akan
bereaksi sebagai asam atau bermuatan negatif. Pada pH isoelektrik muatan gugus
amino dan karboksil bebas akan saling menetralkan sehingga molekul bermuatan
nol (Winarno, 1992).
Protein akan mengalami
koagulasi apabila dipanaskan pada suhu 50oC atau lebih. Koagulasi
ini hanya terjadi bila larutan protein berada titik isoelektriknya (Poedjiadi,
1994). Pada pH iso-elektrik (pH larutan tertentu biasanya berkisar 4–4,5 di
mana protein mempunyai muatan positif dan negatif sama, sehingga saling
menetralkan) kelarutan protein sangat menurun atau mengendap. Pada temperatur
diatas 60oC kelarutan protein akan berkurang (koagulasi) karena pada
temperatur yang tinggi energi kinetik molekul protein meningkat sehingga
terjadi getaran yang cukup kuat untuk merusak ikatan atau struktur sekunder,
tertier dan kuartener yang menyebabkan koagulasi. Pada uji koagulasi,
penambahan asam asetat bertujuan agar larutan albumin mencapai pH isolistriknya
sehingga bisa terkoagulasi.
Tabel 6. Hasil Pengamatan Titik Isoelektrik
Tabung
|
10’
|
20’
|
1
|
Bening
|
Bening
|
3
|
Keruh
|
Keruh
|
4
|
Keruh
|
Keruh
|
5
|
Tidak ada perubahan
|
Terdapat
endapan dan endapan melayang berwarna putih
|
6
|
Keruh
|
Keruh
|
7
|
Keruh, terdapat endapan
|
Keruh, terdapat endapan
|
8
|
Keruh +++
|
Keruh +++
|
9
|
Keruh +
|
Keruh +
|
(Sumber:
Dokumentasi Pribadi, 2015)
Protein seperti asam
amino bebas memiliki titik isoelektrik yang berbeda-beda. Titik Isoelektrik
(TI) adalah daerah pH tertentu dimana protein tidak mempunyai selisih muatan
atau jumlah muatan positif dan negatifnya sama, sehingga tidak bergerak ketika
diletakkan dalam medan listrik. Pada pH isoelektrik, suatu protein sangat mudah
diendapkan karena pada saat itu muatan listriknya nol.
Titik
isoelektrik dapat ditentukan berdasarkan kekeruhan dan endapan karena pada
titik dekat isoelektrik akan terjadi gaya tolak-menolak elektrostatik yang
menyebabkan kelarutan minimum, sehingga terjadi kekeruhan. Setiap jenis protein
memiliki titik isoelektrik yang berbeda-beda.
Berdasarkan hasil
pengamatan terlihat pada sampel pada kelompok 7 menit ke 10 adanya kekeruhan dan
ada endapan. Sedangkan pada kelompok 3,4,7,8 dan 9 adanya kekeruhan saja.
Sedangkan pada menit ke-20 pada semua sampel tidak terdapat perubahan. Kasein
memiliki ion yang tidak bermuatan sehingga membentuk isoelektrik.namun ada yang
berbeda dari hasil pengamatan kelompok 5 yang tadinya tidak ada perubahan
menjadi ada hal tersebut dapat terjadi karena ketidaktelitian
praktikan saat melakukan praktikum. Selain itu, dapat juga diakibatkan
kesalahan pada saat melakukan pengamatan dan juga dapat disebabkan akibat
terlalu lama dipanaskan atau perlakuan pemanasan yang berlebihan.
5.5 Salting
Out
Salting out adalah
peristiwa pemisahan protein sebagai endapan akibat penambahan garam yang
menyebabkan daya larut protein menjadi berkurang. Sampel albumin dan gelatin
dipanaskan untuk membuatnya terkoagulasi. Kemudian ditambahkan garam sampai jenuh
yaitu sampai garam sudah tidak larut lagi di dalam albumin. Terbentuk endapan
putih pada albumin setelah ditambah garam, ini menandakan terjadi salting out.
Kemudian diambil filtratnya dengan menggunakan kertas saring. Setelah itu
filtrat dites dengan pereaksi biuret, hal ini bertujuan untuk melihat apakah albumin itu larut di
dalam garam atau tidak, karena sebagian besar protein tidak larut dalam larutan
garam yang pekat. Apabila pada uji biuret larutan masih berwarna ungu berarti
garam tidak sepenuhnya dapat mengendapkan protein (masih ada protein).
Larutan garam
yang ditambahkan pada perlakuan kedua sampel yaitu, Ammonium Sulfat dengan
konsentrasi yang berbeda-beda Berikut hasil pengamatan salting out :
Tabel 7. Hasil Pengamatan
Salting Out
Kelompok
|
Sampel
|
Konsentrasi
|
W
ammonium sulfat
|
Endapan
|
Filtrat
|
1
|
Gelatin
|
10%
|
0,0560 gram
|
-
|
Biru berbayang
|
2
|
Gelatin
|
20%
|
0,114 gram
|
-
|
Biru berbayang (basa)
|
3
|
Gelatin
|
25%
|
0,144
|
-
|
Biru
Berbayang
|
4
|
Gelatin
|
30 %
|
0,1756 gram
|
+
|
Bening
|
5
|
Gelatin 2% + ammonium sulfat
|
35%
|
0,2089 gram
|
+
|
Basa (biru)
|
6
|
Albumin
|
10%
|
0,056 gram
|
+
|
Biru (Basa)
|
7
|
Albumin
|
20%
|
0,1143 gram
|
|
Warna
biru bening
|
8
|
Albumin
|
25%
|
0,1444 gram
|
+
|
Biru
|
9
|
Albumin
|
|
|
|
|
(Sumber:
Dokumentasi Pribadi, 2015)
Berdasarkan hasil
pengamatan diatas pada semua sampel tidak terjadi perubhan warna yang terlalu
jauh. Hal tersebut membuktikan konsentrasi dalam sampel tersebut berbeda-beda.
Dan warna biru menandakan bahwa larutan tersebut golongan basa. Hal tersebut
diperkuat atau dipastikan oleh sebagian kelompok praktikan yang menggunakan
kertas lakmus untuk mengetahui larutan tersebut asam atau basa.
VI. KESIMPULAN dan SARAN
6.1 Kesimpulan:
Berdasarkan
hasil praktikum diatas, maka dapat disimpulkan :
- Albumin menunjukkan reaksi positif biuret dengan ditandai terbentuknya warna ungu yang berarti adanya dua atau lebih ikatan peptida yang terkandung pada sampel.
- Larutan albumin tidak menghasilkan warna ungu tetapi menghasilkan warna putih keruh dan terdapat gumpalan putih. Seharusnya albumin dapat membentuk warna ungu setelah diberi perlakuan penambahan buffer asetat, ninhidrin dan pemanasan karena albumin mengandung asam amino.
·
Adanya kekeruhan pada albumin yang ditambahkan HCl
menunjukkan bahwa albumin tidak larut dalam asam berkonsentrasi tinggi.
Sedangkan pada gelatin yang ditambahkan ketiga larutan, ada yang tidak terjadi
perubahan.
·
Reaksi antara logam
berat dan albumin menghasilkan endapan pada penambahan semua jenis logam
berat. Hal ini menunjukkan logam berat yang ditambahkan semuanya bersifat
reaktif dengan albumin
·
Perubahan pH juga akan menyebabkan
denaturasi pada protein, perubahan pH dapat dilakukan dengan penambahan asam
maupun basa.
·
Titik isoelektrik dapat ditentukan berdasarkan kekeruhan dan
endapan karena pada titik dekat isoelektrik akan terjadi gaya tolak-menolak
elektrostatik yang menyebabkan kelarutan minimum, sehingga terjadi kekeruhan.
6.2 Saran
o
Praktikan
diharapkan lebih teliti dalam melakukan praktikum agar hasil pengamatan
tersebut mendapatkan hasil yang maksimal
o
Diharapkan
semua praktikan dapat mendokumentasikan hasil praktikumnya agar dapat mempunyai
hasil pengamatan yang lebih detail.
DAFTAR
PUSTAKA
Buckle,
K.A., R.A Edwards., G.H Fleet., dan M. Wootton. 1987. Ilmu Pangan. Penerjemah
Hari Purnomo dan Adiono. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta.
Murray, Robert K, et al. 2000. Biokimia
Harper. EGC: Jakarta.
Ophart, C.E., 2003. Virtual Chembook. Elmhurst College.
Poedjiadi, Anna. 1994. Dasar-dasar
Biokimia. Jakarta: UI Press.
Tejasari.
2005. Nilai Gizi – Pangan. Graha
Ilmu.Yogyakarta.
Winarno,
F. G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama Jakarta.
No comments:
Post a Comment