Yoga Jati Pratama
240210140003
Kelompok 1A Universitas Padjadjaran
IV. PEMBAHASAN
4.1 Pengujian Karakteristik dan Fisik Limbah
Limbah adalah buangan yang dihasilkan dari suatu proses produksi baik industri maupun domestik (rumah tangga). Dimana masyarakat bermukim, disanalah berbagai jenis limbah akan dihasilkan. Ada sampah, ada air (black water), dan ada air buangan dari berbagai aktivitas domestik lainnya (grey water) (Wirosarjono, S. 1974).
Limbah
industri adalah semua jenis bahan sisa atau bahan buangan yang berasal dari
hasil samping suatu proses perindustrian. Limbah industri dapat menjadi limbah
yang sangat berbahaya bagi lingkungan hidup dan manusia (Palar,2004)
Limbah adalah buangan yang kehadirannya pada suatu
saat dan tempat tertentu tidak dikehendaki lingkungannya karena tidak mempunyai
nilai ekonomi. Limbah mengandung bahan pencemar yang bersifat racun dan bahaya.
Limbah ini dikenal dengan limbah B3 (bahan beracun dan berbahaya). Bahan ini
dirumuskan sebagai bahan dalam jumlah relatif sedikit tapi mempunyai potensi
mencemarkan/merusakkan lingkungan kehidupan dan sumber daya. Sebagai limbah,
kehadirannya cukup mengkhawatirkan terutama yang bersumber dari pabrik
industri.
Adanya
batasan kadar dan jumlah bahan beracun dan berbahaya pada suatu ruang dan waktu
tertentu dikenal dengan istilah nilai ambang batas, yang artinya dalam jumlah
demikian masih dapat ditoleransi oleh lingkungan sehingga tidak membahayakan
lingkungan ataupun pemakai. Karena itu untuk tiap jenis bahan beracun dan
berbahaya telah ditetapkan nilai ambang batasnya.
Tingkat
bahaya keracunan yang disebabkan limbah tergantung pada jenis dan
karakteristiknya baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Dalam jangka
waktu relatif singkat tidak memberikan pengaruh yang berarti, tapi dalam jangka
panjang cukup fatal bagi lingkungan. Oleh sebab itu pencegahan dan
penanggulangan haruslah merumuskan akibat-akibat pada suatu jangka waktu yang
cukup jauh (Ginting, 1992). Karakteristik limbah secara umum mencakup:
1. Volume
cairan tinggi
2. Berbeban
rendah
3. Memiliki
kualitas dan kuantitas fisik yang spesifik (volume aliran, BOD, COD, DO, suhu,
pH, konsentrasi padatan tersuspensi, toksisitas, dll)
4. Umumnya
tidak membahayakan bagi kesehatan
5. Kandungan
organiknya yang tinggi menyebabkan mikoorganisme dapat tumbuh subur sehingga
dapat mereduksi oksigen terlarut dan seringkali menimbulkan bau busuk (Sumanti
dan Tita, 2010).
Pengetahuan akan karakteristik dan sifat
limbah industri pangan sangat penting untuk mengembangkan suatu sistem
pengelolaan limbah yang layak. Metode penanganan dan pembuangan limbah yang
telah berhasil dilakukan untuk limbah industri lain belum tentu berhasil
berhasil diterapkan pada limbah pertanian, kecuali bila dimodifikasi terlebih
dahulu. Limbah yang diproduksi dari industri pertanian merupakan limbah yang
berbeban rendah, volume cairan tinggi. Pada umumnya dalam air limbah pengolahan
pangan, bahan kamba yang membutuhkan oksigen berada dalam bentuk terlarut (Tita, R. 2010).
Sifat fisik limbah cair yang mudah
terlihat dapat menentukan derajat pengotoran air limbah pertanian. Sifat-sifat
fisik yang penting diantaranya adalah kandungan zat padat yang menunjukkan
kejernihan air, bau, warna, suhu dan pH. Air sering digunakan sebagai medium
pendingin dalam berbagai proses produksi. Air tersebut selanjutnya mempunyai
suhu lebih tinggi dari asalnya dapat menimbulkan beberapa akibat, yaitu: jumlah
oksigen terlarut (DO) dalam air menurun, kecepatan reaksi kimia meningkat,
kehidupan biota terganggu/mati.
Praktikum kali ini akan dilakukan
pengujian karakteristik fisik terhadap berbagai jenis limbah, limbah yang
digunakan yaitu air limbah tahu, air Selokan gerlam, air bersih/minum, air
limbah kokita, dan air limbah kahatex. Dari sampel tersebut akan diamati warna,
bau, suhu, pH, dan endapan. Pengujian warna dan bau dilakukan secara visual
(mata) dan inderawi (hidung). Pengukuran
suhu dilakukan dengan termometer dan pH dengan pH meter.
Pengujian endapan dilakukan dengan memasukkan
sampel limbah sebanyak 140 ml dan diendapkan selama 1 jam. Selanjutnya, endapan
tersebut disaring dengan menggunakan kertas saring yang
sudah ditimbang sebelumnya. Kertas saring yang mengandung endapan dikeringkan selama
1 hari. Setelah pengeringan selesai, kertas saring tersebut di timbang.
Berikut adalah tabel 1 hasil pengamatan Sifat fisik
berbagai macam limbah
Tabel .1 hasil pengamatan sifat fisik berbagai macam
limbah yang dilakukan oleh kelompok praktikan
|
Air Bersih
|
Air Selokan
|
Air Kokita
|
Air Kahatex
|
Air Tahu
|
pH
|
6,6
|
7,0
|
6,6
|
7,2
|
3,2
|
Suhu
|
27°C
|
25°C
|
30,5°C
|
29°C
|
28°C
|
Warna
|
Bening
|
Keruh
|
Kuning pudar
|
Hijau kecoklatan
|
Kuning pudar
|
Bau
|
Tidak berbau
|
Bau got
|
Sambal busuk
|
Tidak berbau
|
Asam
|
Wc+k
|
4,8710
|
4,9736
|
5,3262
|
5,2284
|
5,6487
|
Wc+k+e
|
4,8710
|
4,9738
|
5,3507
|
5,2699
|
5,6788
|
Wend.
|
0
|
0,0002
|
0,0245
|
0,0415
|
0,0301
|
Bend.
|
0
|
0,0014
|
0,175
|
0,296
|
0,215
|
(Hasil
dokumentasi pribadi,2016)
Dapat dilihat dalam tabel bahwa warna
air limbah tahu kuning pudar keruh, warna air bersih (jernih), warna air
selokan gerlam keruh, warna air kokita kuning pudar dan warna air kahatex hijau
kecoklatan. Warna timbul akibat suatu bahan terlarut
atau tersuspensi dalam air, di samping adanya bahan pewarna tertentu yang
kemungkinan mengandung logam berat. Warna air limbah tahu adalah kuning pudar
keruh karena pengaruh bahan
ataupun komponen yang terkandung
dalam limbah ini. Limbah tahu mengandung sisa-sisa pengolahan tahu yang
dapat berupa protein terlarut
yang kemudian menyebabkan air limbah menjadi keruh.
Air bersih berwarna bening karena umumnya air bersih sudah mengalami proses penyaringan sehingga
bahan pengotornya sudah dalam konsentrasi rendah. Air bersih ini berwarna
bening diperuntukkan untuk dikonsumsi publik untuk di minum, dan lain-lain. Limbah
selokan terdiri dari air dan sebagian kecil terdiri dari bahan - bahan padat
dan suspensi terutama limbah selokan rumah tangga, biasanya berwarna lebih
keruh karena mengandung sisa - sisa kertas, bagian - bagian tinja, air bekas
cucian beras dan sayur, dan lain-lain. Warna air kahatex disebabkan oleh
pada limbah ini terlarut beberapa komponen pengotor seperti lumpur ataupun
tanah yang mengakibatkan air limbah ini berwarna hijau kecoklatan limbah ini juga
dapat merusak tanah pertanian seperti sawah disekitar pabrik karena terdapat
zat kimia yang dapat merusak tanah pesawahan. Warna air kokita disebabkan oleh zat pengawet
dan zat alamiah yang terdapat pada limbah sehingga limbah sambal menjadi busuk
kemudian terjadi penurunan pH dan dapat merubah warna menjadi kuning pudar. Warna
keruh pada limbah dapat ditimbulkan oleh kehadiran mikroba bahan-bahan
tersuspensi oleh ekstrak senyawa-senyawa organik serta tumbuh-tumbuhan.
Bau
timbul karena adanya kegiatan mikroorganik yang menguraikan zat organik
menghasilkan gas tertentu. Di samping itu bau juga timbul karena terjadinya
reaksi kimia yang menimbulkan gas. Kuat tidaknya bau yang dihasilkan limbah
tergantung pada jenis dan banyak gas yang ditimbulkan. Bau pada limbah juga
bisa disebabkan karena adanya campuran dari nitrogen, fospor, protein, sulfur,
amoniak, hidrogen sulfida, karbon disulfida, dan zat organik lain. Limbah cenderung menghasilkan bau
yang tidak sedap karena hasil pembuangan dari berbagai macam proses pengolahan.
Sampel air Selokan gerlam menghasilkan bau khas selokan (amonia) karena berasal
dari berbagai macam jenis limbah rumah tangga yang banyak menghasilkan bau yang
kurang sedap. Limbah tahu menghasilkan bau khas asam dari tahu yang kurang
sedap yang disebabkan proses pengolahan dari pembuatan tahu. Bau asam yang
dihasilkan juga menunjukkan pH yang dihasilkan cenderung asam. Namun ada sampel
limbah air bersih/minum tidak berbau. Air bersih/minum tidak berbau karena
masih banyak kandungan air bersih. Bau pada air kahatex tidak berbau namun jika
dalam jumlah besar dan pada saat proses pengambilan di pabrik air limbah
sedikit bau logam, hal tersebut dapat disebabkan oleh cemaran logam dari udara,
pengotor, dan air hujan.
Suhu pada sampel limbah
paling tinggi adalah limbah kokita sebesar 30,50C, sedangkan suhu
paling rendah pada sampel air selokan. Suhu pada sampel air kokita lebih tinggi
karena saat proses pengolahan dilakukan pemanasan sehingga setelah limbah masih
dalam keadaan suhu yang cukup tinggi. Namun, suhu pada sampel cenderung pada
suhu ruang. Suhu pada limbah cair dapat
mempengaruhi kadar oksigen terlarut. Kenaikan suhu mengakibatkan penurunan
kadar oksigen terlarut. Kadar oksigen terlarut yang terlalu rendah akan
menimbulkan bau tidak sedap akibat terjadinya degradasi anaerobik. Sedangkan
suhu paling rendah pada air selokan kemungkinan suhu rendah karena pada saat
pengambilan air selokan diambil pada saat musim hujan hal tersebut dapat
membuat suhu air menjadi rendah disamping itu pengambilan sampel dilakukan pada
pagi hari.
Prinsip pengukuran suatu pH adalah
didasarkan pada potensial elektro kimia yang terjadi antara larutan yang
terdapat didalam elektroda gelas (membran gelas) yang telah diketahui dengan larutan
yang terdapat diluar elektroda gelas yang tidak diketahui. Hal ini dikarenakan
lapisan tipis dari gelembung kaca akan berinteraksi dengan ion hidrogen yang
ukurannya relatif kecil dan aktif, elektroda gelas tersebut akan mengukur
potensial elektrokimia dari ion hidrogen atau diistilahkan dengan potential of hidrogen.
pH sampel yang diuji pada umumnya
bersifat basa kecuali pada air limbah tahu. Air limbah tahu bersifat asam
karena pada proses pembuatan tahu ditambahkan larutan yang bersifat asam. pH
pada limbah tahu lebih rendah dibandingkan sampel lainnya, hal ini dikarenakan limbah tahu dapat menjadi asam karena proses fermentasi
dari mikroorganisme yang menguraikan protein-protein tahu yang larut dalam air
rendamannya dan menyebabkan limbah dari tahu mempunyai pH yang cukup rendah
dibandingkan limbah lainnya. Menurut
Said, dkk. (2012), limbah selokan cenderung mengandung sampah dan kotoran yang
berasal dari rumah tangga, perusahaan, atau sisa-sisa industri. Air buangan ini
mengandung campuran zat-zat kimia anorganik yang berasal dari penguraian tinja,
urin, dan sampah-sampah lainnya sehingga bersifat basa, tetapi jika dibiarkan
dalam waktu yang lama limbah ini akan mengalami pembusukan dan pH-nya cenderung
menjadi asam. Hal tersebut juga berlaku untuk limbah kahatex dan kokita
sedangkan untuk Air minum cenderung netral, yaitu pH 6,6.
Bahan padat total terdiri dari bahan
padat tak terlarut atau bahan padat yang terapung serta senyawa-senyawa yang
larut dalam air. Kandungan bahan padat terlarut ditentukan dengan mengeringkan
serta menimbang residu yang didapat dari pengeringan. Setiap limbah memiliki
endapan yang terdiri dari partikel yang berukuran besar dan kecil. Dengan mengetahui besar kecilnya partikel yang
terkandung di dalam air limbah akan memudahkan kita di dalam memilih teknik
pengendapan yang akan diterapkan sesuai dengan partikel yang ada didalamnya.
Air limbah yang mengandung partikel dengan ukuran besar memudahkan proses
pengendapan yang berlangsung, sedangkan apabila air limbah tersebut berisikan
partikel yang sangat kecil ukurannya akan menyulitkan dalam proses pengendapan
sehingga untuk mengendapkan benda ini haruslah dipilihkan cara pengendapan yang
terbaik.
Urutan limbah yang memiliki berat
endapan terkecil sampai terbesar yaitu air bersih, air selokan, air kokita, air
tahu dan air limbah kahatex. Jumlah endapan pada limbah merupakan sisa penguapan dari
air limbah pada suhu ruang.
Jumlah total endapan terdiri dari benda-benda yang mengendap, terlarut, dan
bercampur. Adanya endapan pada air limbah menunjukkan nilai Setteble Solid
(SS), yaitu bahan padat dalam limbah cair yang dapat mengendap dalam waktu kurang
dari 1 hari.
4.2 Pengujian BOD (Biochemical Oxygen Demmand) dan DO (Dissolved Oxygen)
Biochemical
Oxygen Demand (BOD) sebagai banyaknya oksigen
yang diperlukan oleh organisme pada saat pemecahan bahan organik, pada kondisi
aerobik. Pemecahan bahan organik diartikan bahwa bahan organik ini digunakan
oleh organisme sebagai bahan makanan dan energinya diperoleh dari proses
oksidasi (PESCOD,1973). Metode untuk mengukur BOD ada banyak diantaranya adalah
metode sederhana (inkubasi), metode AOA, metode Standar, dan metode Manometrik
(Fardiaz, 1993).
Oksigen terlarut (DO) adalah jumlah oksigen terlarut
dalam air yang berasal dari fotosintesa dan absorbsi atmosfer atau udara.
Oksigen terlarut di suatu perairan sangat berperan dalam proses penyerapan
makanan oleh mahkluk hidup dalam air. Oksigen terlarut (dissolved oxygen, disingkat DO) atau sering juga disebut dengan
kebutuhan oksigen (Oxygen demand)
merupakan salah satu parameter penting dalam analisis kualitas air (Ficca,
2009).
Pengujian ini dilakukan
berdasarkan pengukuran kualitas limbah terhadap jumlah oksigen yang dibutuhkan
untuk menguraikan senyawa organik yang ada pada limbah. Prinsipnya limbah yang
baik ialah limbah yang memiliki DO (Dissolved
Oxygen) yang tinggi dengan jumlah BOD (Biochemical
Oxygen Demand) yang rendah. DO merupakan jumlah oksigen terlarut yang ada
pada limbah, dimana semakin tinggi jumlah oksigen terlarut maka akan semakin
baik kualitas air/limbah tersebut. BOD merupakan jumlah oksigen yang dibutuhkan
oleh mikroorganisme untuk menguraikan senyawa organik pada kondisi aerobik.
Dalam hal ini jika semakin tinggi nilai BOD
maka kulitas limbah tersebut akan semakin turun.
Prinsip pengujian BOD yaitu pengukuran BOD terdiri
dari pengenceran sampel, inkubasi selama 5 hari pada suhu 20°C dan pengukuran
oksigen terlarut sebelum serta sesudah inkubasi. Penurunan oksigen selama
inkubasi menunjukkan jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh sampel. Waktu 5 hari
untuk mengukur BOD merupakan waktu yang sempurna untuk oksidasi biokimiawi yaitu
mencapai 60– 70 %. Kesempurnaannya akan bertambah jika dilanjutkan sampai 20
hari, dapat mencapai 95-99%. Suhu 20°C digunkan karena merupakan nilai
rata-rata untuk daerah perairan arus lambat di daerah iklim sedang serta mudah
ditiru dalam inkubator. Prinsip pengujian DO dengan prinsip oksigen akan
mengoksidasi Mn2+ dalam suasana basa membentuk endapan MnO2.
Penambahan alkali iodida dalam suasana basa akan membebaskan iodium. Banyaknya
iodium yang dibebaskan ekivalen dengan banyaknya oksigen yang terlarut.
Sampel limbah terlebih dahulu
dimasukkan kedalam botol, selanjutnya diambil 30 ml dan dimasukkan kedalam
botol winkler. Sampel
tidak boleh terdapat gelembung didalam botol winkler karena dapat mempengaruhi
jumlah oksigen yang terlarut. Sampel
limbah pada botol winkler ditambahkan aquades sampai penuh lalu ditambahkan 2
ml MnSO4 dan 2 ml alkali iodida. Sampel limbah diaduk hingga
terbentuk gumpalan sempurna, botol dimasukkan kedalam keresek hitam untuk
selanjutnya ditambahkan H2SO4 1-5 ml hingga gumpalan
hilang dengan cara diaduk. Penggunaan keresek hitam ditujukan karena sampel
mengandung senyawa iodidia sehingga mudah rusak apabila terkena cahaya. Sampel
limbah diambil 25 ml lalu dimasukkan kedalam erlenmeyer, selanjutnya dititrasi
dengan Na2S2O3 dengan tambahan indikator 10
tetes amilum hingga warna biru berbayang hilang.
Mn2+ + 2 OH- + ½
O2 → MnO2 + H2O
Gumpalan
MnO2 +
2 I- + 4 H+ → Mn2+ + I2 + H2O
# 1 mol O2
akan membentuk 1 mol I2
I2 +
S2O22- → S4O62-
+ 2 I-
Nilai DO dan BOD dapat dihitung dengan
persamaan sebagai berikut.
DO =
F =
BOD =
Semakin rendah nilai BOD, semakin baik kualitas air,
begitu pula sebaliknya, semakin tinggi nilai BOD semakin buruk kualitas air.
Berbeda dengan DO, semakin tinggi nilai DO semakin baik kualitas air,
begitupula sebaliknya, semakin rendah nilai DO semakin buruk pula kualitas air.
Dalam penentuan nilai BOD suatu limbah dapat dilakukan
dengan pengukuran jumlah oksigen terlarut (DO) pada 0 hari dengan DO pada 5
hari. Pengukuran ini dilakukan dengan membandingkan jumlah oksigen yang
digunakan oleh mikroorganisme dengan inkubasi untuk DO 5 hari dengan jumlah DO
0 hari dengan sampel yang sama. Dengan membandingkan jumlah oksigen terlarut
limbah dapat diketahui kadar BOD nya. Berdasarkan hasil pengamatan dan
perhitungan, 5 sampel yang diuji memiliki kadar BOD yang baik yang menandakan
bahwa kualitas limbah berada pada batas aman untuk dibuang ke lingkungan.
Batasan aman kadar BOD suatu limbah ialah sekitar 1-8 ppm.
Berdasarkan praktikum kali ini kita mendapatkan BOD setiap
limbah masih dalam batas aman, walaupun jika dilihat dari karakteristik
fisiknya setap limbah memiliki sifat yang cukup berbeda jauh. Secara prinsip
pengujian kadar BOD pada berbagai limbah dilakukan dengan benar, hanya saja
pada pengujian ini diperlukan keterampilan dan juga ketelitian praktikan dalam
proses titrasi karena proses ini mempengaruhi langsung terhadap nilai BOD suatu
limbah. Kelebihan satu atau dau tetes saja akan menghasilkan nilai yang berbeda
sehingga diperlukan ketelitian. Untuk hasil tersebut dapat dilihat pada tabel 2
hasil pengamatan BOD dan DO
tabel 2 hasil pengamatan BOD dan DO
Limbah
|
Hari 0
|
Hari 5
|
BOD (mg/l)
|
Vtitrasi
|
DO0
|
Fp
|
Vtitrasi
|
DO5
|
Fp
|
Air Bersih
|
0,8
|
1,28
|
0,2
|
0,8
|
1,28
|
0,2
|
0
|
Air Selokan
|
0,6
|
0,96
|
0,7
|
1,12
|
1,92
|
Air Kokita
|
1
|
1,6
|
4,5
|
7,2
|
67,2
|
Air Kahatex
|
0,2
|
0,32
|
0,4
|
0,64
|
3,84
|
Air Tahu
|
0,5
|
0,8
|
1
|
1,6
|
9,6
|
(Hasil dokumentasi pribadi,2016)
Urutan
kadar BOD yang terkecil sampai terbesar adalah air bersih, air selokan, air
kahatex, air tahu dan air kokita. Air selokan yang
baik mempunyai BOD > 10 PPM. Wirosarjono (1974) menyatakan bahwa semua
sampel yang diuji memiliki tingkat pencemaran yang rendah karena tidak ada yang
melebihi 10 ppm.
Nilai DO5 lebih kecil dibandingkan nilai
DO0. Hal ini disebabkan oleh penyimpanan limbah dalam waktu yang
lebih lama (5 hari) dapat membuat limbah mengalami penguraian sehingga kualitas
airnya semakin buruk. Semakin besar
nilai DO pada air, mengindikasikan air tersebut memiliki kualitas yang bagus.
Sebaliknya jika nilai DO rendah, dapat diketahui bahwa air tersebut telah
tercemar. Pengukuran DO juga bertujuan melihat sejauh mana badan air mampu
menampung biota air seperti ikan dan mikroorganisme. Selain itu kemampuan air untuk membersihkan pencemaran
juga ditentukan oleh banyaknya oksigen dalam air. Berikut adalah
tabel tingkat pencemaran limbah berdasarkan nilai DO dan BOD:
Tabel 3. Tingkat Pencemaran Limbah
Berdasarkan nilai DO dan BOD
Tingkat
Pencemaran
|
Parameter
|
DO (ppm)
|
BOD (ppm)
|
Rendah
|
>
5
|
0-10
|
Sedang
|
0-5
|
10-20
|
Tinggi
|
0
|
25
|
(Sumber :
Wirosarjono, 1974)
Kesimpulan untuk pengujian BOD dan DO terdapat
perbedaan Dari hasil literature yang didapat bahwa jika nilai BOD tinggi
mengidentifikasikan bahwa dalam limbah tersebut banyak mengandung bahan organic
yang harus diuraikan oleh banyak bakteri, bahan organic yang terkandung banyak
= butuh banyak mikroorganisme untuk menguraikannya = kebutuhan oksigen tinggi =
angka BOD besar, jadi angka BOD tinggi menunjukan limbah tersebut sangat
tercemar atau mengandung bahan organic yang banyak fungsi pengenceran itu
diperlukan agar masih cukup tersisa oksigen pada hari kelima, karena dengan
pengenceran akan mereduksi kandungan dalam limbah kemudian bakteri pengurai
semakin sedikit, oksigen yang dibutuhkan semakin sedikit pula, sehingga nilai
BOD kecil, masalahnya jika limbah terlalu banyak akan mengakibatkan pencemaran
dalam sungai, oksigen akan habis untuk bakteri pengurai limbah sehingga tanaman
dan ikan yang ada didalamnya akan mati akibat kekurangan oksigen(Oktari
Depi,2013).
4.3 Pengujian COD (Chemical Oxygen Demmand)
Chemical
Oxygen Demand adalah kapasitas air
untuk menggunakan oksigen selama peruraian senyawa organik terlarut dan
mengoksidasi senyawa anorganik seperti amonia dan nitrit. COD atau kebutuhan
oksigen kimia adalah jumlah oksigen yang diperlukan agar limbah organik yang
ada di dalam air dapat teroksidasi melalui reaksi kimia.
COD merupakan jumlah oksigen yang
dibutuhkan dalam proses oksidasi kimia yang dinyatakan dalam mg/liter atau ppm.
Chemical Oxygen Demand atau Kebutuhan
Oksigen Kimia (KOK) adalah jumlah oksigen (mgO2) yang dibutuhkan
untuk mengoksidasi zat-zat organis yang ada dalam satu liter sampel air, dimana
pengoksidasi K2Cr2O7 digunakan sebagai sumber
oksigen. COD (Chemical Oxygen Demand)
erat kaitannya dengan BOD (Silalahi, 2009).
COD (Chemical
Oxygen Demand) merupakan suatu uji yang menentukan jumlah oksigen yang
dibutuhkan oleh bahan oksidan. Uji COD biasanya menghasilkan nilai kebutuhan
oksigen yang lebih tinggi dibandingkan uji BOD karena bahan-bahan yang stabil
terhadap reaksi biologi dan mikroorganisme dapat ikut teroksidasi dengan uji
COD. Angka COD merupakan ukuran bagi pencemaran air oleh zat-zat organik yang
secara alami dapat dioksidasikan melalui proses mikrobiologis yang
mengakibatkan berkurangnya oksigen terlarut di dalam air. Sedangkan nilai COD
dapat memberikan indikasi kemungkinan adanya pencemaran limbah industri di dalam
perairan (Alaerts, 1984). Faktor-faktor yang mempengaruhi keberadaan COD antara
lain: volume reaktor atau air, waktu tinggal padatan atau substrat, permintaan
oksigen dan volume lumpur. Kadar COD akan lebih tinggi terjadi pada musim
kemarau dibandingkan pada musim hujan. Air hujan yang jatuh di perairan dan
mengencerkan pencemar bahan organik sehingga menurunkan kadar BOD dan COD
(Ratna, 2009).
Pengujian COD pada praktikum ini
menggunakan metode tanpa refluks. Prinsip pengujiannnya adalah COD merupakan
jumlah oksidan Cr2O72- yang bereaksi dengan
contoh uji dan dinyatakan sebagai mg O2 untuk setiap 1000 ml sampel.
Senyawa organik dan anorganik dalam sampel dioksidasi oleh Cr2O72-
dalam refluks tertutup menghasilkan Cr3+ terutama pada senyawa
organik. Jumlah oksidan yang dibutuhkan dinyatakan dalam ekuivalen oksigen (O2
mg/L). Preparasi sampel untuk seluruh
sampel sama kecuali pada sampel selokan dan tahu yang diidentifikasi limabh
tersebut mengandung COD lebih dari 1400 ppm. yaitu dengan menambahkan 4 ml
aquades dan 1 ml sampel limbah ke dalam Erlenmeyer, sedangkan limbah tahu dan
selokan diencerkan dengan 9 ml aquades, hal ini dikarenakan limbah tahu dan
selokan mengandung COD lebih dari 1400 ppm sehingga seluruh K2Cr2O7
akan diubah menjadi asam kromat (HCrO4) yang berwarna hijau. Warna
campuran ini akan menunjukkan kadar COD kasar, jika warnanya berubah menjadi
hijau berarti K2Cr2O7
berubah menjadi asam kromat (HCrO4), hal ini menunjukkan COD >
1400 ppm. Bila masih berwarna hijau maka sampel perlu diencerkan agar nilai
COD-nya berkurang. Jika K2Cr2O7 tidak berubah
menjadi asam kromat (HCrO4), hal ini berarti bahwa COD < 500 ppm
yang ditandai dengan tidak terlihatnya warna hijau sehingga sampel tidak perlu
diencerkan.
Sampel-sampel tersebut ditambahkan dengan 20 ml K2Cr2O7
dan 5 ml H2SO4. Larutan dikocok kemudian dipanaskan
selama 10 menit. Jika sudah dipanaskan, larutan didinginkan sampai suhunya sama
seperti suhu kamar. Larutan yang suhunya sudah normal ditambahkan 10 ml KI 30%,
penambahan ini dilakukan dengan menyimpan erlenmeyer dalam kresek hitam karena
cahaya dapat mengoksidasi iodium sehingga mengganggu proses oksidasi Cr2O72-.
Setelah itu, titrasi larutan dengan Na2S2O3
0,1 N sampai berwarna kuning pucat kemudian tambahkan 10 tetes amilum 1% dan
titrasi kembali sampai berwarna hijau muda. Rekasi pengujian COD sebagai
berikut.
CaHbOc +
Cr2O72- + H+ " CO2 +
H2O + Cr3+
Zat
organik kuning hijau
Adapun kelebihan dari metode analisis COD adalah
sebagai berikut.
1. Untuk
menganalisa COD antara 50 – 800 mg/l, tidak dibutuhkan pengenceran sampel.
2. Ketelitan
dan ketepatan (reprodicibilty) tes
COD adalah 2 sampai 3 kali lebih tinggi dari tes BOD5.
3. Gangguan
zat yang bersifat racun tidak menjadi masalah.
Sedangkan kekurangan dari tes COD adalah tidak dapat
membedakan antara zat yang sebenarnya yang tidak teroksidasi (inert) dan
zat-zat yang teroksidasi secara biologis. Hal ini disebabkan karena tes COD
merupakan suatu analisa yang menggunakan suatu oksidasi kimia yang menirukan
oksidasi biologis, sehingga suatu pendekatan. Untuk tingkat ketelitian
pinyimpangan baku antara laboratorium adalah 13 mg/l. Sedangkan penyimpangan
maksimum dari hasil analisa dalam suatu laboratorium sebesar 5% masih
diperkenankan. Senyawa kompleks anorganik yang ada di perairan yang dapat teroksidasi juga ikut
dalam reaksi sehingga dalam kasus-kasus tertentu nilai COD mungkin sedikit over estimate untuk gambaran kandungan
bahan organik.
Nilai COD merupakan ukuran bagi
pencemaran oleh zat-zat organis yang secara alamiah dapat dioksidasi melalui
proses mikrobiologi dan mengakibatkan berkurangnya oksigen terlarut di dalam
air (Alaerts, 1984). Nilai COD paling besar terdapat pada air limbah tahu,
kemudian air Arboretum, air selokan Ciseke, air Sungai Cidurian, dan air keran
Gedung 4. Hal ini menunjukan bahwa pencemaran air paling banyak terdapat pada
air limbah tahu. Kandungan COD merupakan kandungan bahan pencemar berupa
senyawa kimia yang menyerap oksigen terlarut dalam air yang digunakan untuk
keperluan oksidasi dan mengubahnya menjadi bentuk senyawa lain. Tingginya kadar
bahan kimia tersebut akan menunjukkan peningkatan nilai COD, peningkatan ini
tidak diinginkan pada limbah karena akan
menyebabkan biota-biota yang hidup dalamnya mengalami kekurangan oksigen
yang akan berakibat menurunkan daya hidup biota tersebut. Nilai COD pada
perairan yang tidak tercemar biasanya kurang dari 20 mg/l sedangkan pada
perairan tercemar dapat lebih dari 200 mg/l dan pada limbah industri dapat
mencapai 60.000mg/l.
Air bersih/minum mengandung COD yang netral/
0 berarti tidak memiliki cemaran diantara sampel limbah lainnya. Hal ini
disebabkan bersih/minum bersumber dari mata air tertentu yang digunakan oleh
banyak orang untuk dan telah mengalami proses yang panjang sehingga aman untuk
diminum sehingga harus mengandung cemaran sedikit agar dapat aman digunakan. Air
kahatex dan air kokita mengandung COD dengan angka yang lebih tinggi
dibandingkan air bersih/minum Hal ini disebabkan adanya cemaran yang berasal
dari zat kimia dan bakteri pembusuk disamping itu juga air limbah juga sudah
tercampur dengan logam dari air hujan dan zat lainnya.
Semakin besar nilai COD menunjukkan semakin tinggi pula beban cemaran
sehingga kualitas limbahnya semakin buruk karena tingginya COD
menunjukkan semakin banyak oksigen yang dibutuhkan untuk mendegradasi zat-zat
organik. Maka dari itu, tingginya nilai COD perlu
dilakukan pengurangan zat-zat organik yang terkandung didalam limbah sebelum
dibuang ke perairan.
Kebutuhan oksigen
kimia (COD) adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi zat-zat organik
yang ada dalam 1 liter sampel air dimana pengoksidasi K2Cr2O7 digunakan sebagai sumber oksigen (oxidizing agent). Uji COD merupakan suatu reaksi oksidasi kimia yang
menirukan oksidasi biologi di alam sehingga tidak dapat membedakan antara zat-zat
yang sebenarnya tidak teroksidasi dan zat-zat yang teroksidasi secara biologi
(Sudarmaji, dkk.,1997).
Berdasarkan keputusan Mentri KLH No.03/MENKLH/II/1991 tentang baku mutu
keluaran limbah cair yaitu mengandung COD dengan ambang batas 250 ppm dari
berbagai sumber, baik dari saluran pembuangan rumah tangga, sungai, atau dari
industri pengolahan pangan (Djajadiningrat, 1999). Sampel yang sesuai keputusam
Mentri tersebut hanya air bersih/minum. Sampel lainnya mengandung bahan pencemar diatas 250
ppm sehingga tidak baik digunakan.
Berikut adalah tabel 4 hasil pengamatan pengujian COD
dalam sampel
Tabel 4 hasil pengamatan
pengujian COD dalam sampel
Limbah
|
V blanko
|
Vtitrasi
|
COD (ppm)
|
Air Bersih
|
12,8 ml
|
-
|
0
|
Air Selokan
|
8,6 ml
|
3360
|
Air Kokita
|
12,3 ml
|
400
|
Air Kahatex
|
11,8 ml
|
800
|
Air Tahu
|
9,8 ml
|
2400
|
(Hasil dokumentasi pribadi, 2016)
4.4 Perhitungan Total Mikroorganisme dari
Limbah
Dalam
penanganan air limbah, mikroorganisme merupakan dasar fungsional untuk sejumlah
proses penanganan ataupun sebagai media tumbuh yang tepat. Di dalam limbah itu
sendiri terdiri dari berbagai macam jenis makhluk hidup seperti mikroba bakteri
dan kapang serta, virus, protozoa, ganggang (Algae), dll. Pada pengujian kali
ini akan di dihitung total mikroba dari sampel limbah tersebut.
Bakteri
merupakan kelompok mikroorganisme terpenting dalam system penanganan air
limbah. Dalam air limbah terdapat bakteri jenis patogenik atau bakteri yang
dapat menyebabkan penyakit. Kultur bakteri dapat digunakan untuk menghilangkan
bahan organik dan mineral-mineral yang tidak diinginkan dari air limbah (Jenie,1990).
Praktikum kali ini akan
dilakukan perhitungan total mikroba pada sampel limbah yang sudah ditentukan.
Perhitungan jumlah total mikroba pada air limbah penting dilakukan untuk
mengetahui tingkat pencemaran biologis, sehingga dapat ditentukan cara-cara
penanganan limbah yang sesuai dengan karakteristik limbah tersebut. Selain itu
juga perhitungan mikrooganisme sangat penting untuk mengetahui mutu atau
kualitas limbah sebelum mengalami perlakuan lanjutan dan menghitung proses
pengawetan yang akan ditetapkan pada bahan pangan tersebut.
Metode SPC/TPC yang digunakan dalam perhitungan total
mikroorganisme. Pertama-tama, ambil 2 ml
sampel (air limbah tahu, air bersih/minum, air selokan gerlam, air kahatex dan air limbah
kokita) dan 9 ml nacl-fis dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Pengenceran
dilakukan sampai pengenceran 10-6. Penanaman dilakukan menggunakan
media PCA pada tingkat pengenceran 10-4,10-5, dan 10-6.
PCA digunakan untuk media pertumbuhan kapang, khamir, dan bakteri. Inkubasi
dilakukan pada suhu 30°C selama 3 hari. Setelah diinkubasi, PCA diamati dan
dihitung jumlah mikroorganisme yang tumbuh dengan metode SPC.
Cara
pelaporan dan perhitungan koloni dalam SPC ditentukan sebagai berikut:
1. Hasil yang dilaporkan hanya terdiri dari dua
angka yaitu angka pertama (satuan) dan angka kedua (desimal). Jika angka yang
ketiga sama dengan atau > 5, harus dibulatkan satu angka lebih tinggi pada
angka kedua. Sebagai contoh, 1,7 x 103 unit koloni / ml atau 2,0 x
106 unit koloni/gr.
2. Jika
pada semua pengenceran dihasilkan < 30 koloni pada cawan petri, berarti
pengenceran yang dilakukan terlalu tinggi. Oleh karena itu, jumlah koloni pada
pengenceran yang terendah yang dihitung. Hasilnya dilaporkan sebagai < 30
dikalikan dengan besarnya pengenceran, tetapi jumlah yang sebenarnya harus
dicantumkan di dalam tanda kurung.
3. Jika
pada semua pengenceran dihasilkan > 300 koloni pada cawan petri, berarti
pengenceran yang dilakukan terlalu rendah. Oleh karena itu, jumlah koloni pada
pengenceran yang tertinggi yang dihitung. Hasilnya dilaporkan sebagai > 300
dikalikan dengan faktor pengenceran, tetapi jumlah yang sebenarnya harus
dicantumkan di dalam tanda kurung.
4. Jika
pada cawan dari dua tingkat pengenceran dihasilkan koloni dengan jumlah antara
30 dan 300, dan perbandingan antara hasil tertinggi dan terendah dari dua
pengenceran tersebut lebih kecil atau sama dengan dua, dilaporkan rata-rata
dari kedua nilai tersebut dengan memperhitungkan faktor pengencerannya. Jika
perbandingan antara hasil tertinggi dan terendah > 2, yang dilaporkan hanya
hasil yang terkecil (Fardiaz, 1992).
Berikut
adalah tabel 5 hasil
pengamatan perhitungan total mikroorganisme pada limbah:
Tabel 5 hasil pengamatan perhitungan TPC/ SPC
(Hasil dokumentasi pribadi, 2016)
Hasil pengamatan menunjukan
air kokita dan limbah kahatex yang paling banyak mengandung mikroorganisme dan
air bersih/minum yang paling sedikit. Semakin banyak mikroorganisme dalam
sampel, semakin buruk pula kualitas air (Djajadiningrat, 1999). Urutan sampel dengan total mikroorganisme dari
paling banyak ke sedikit adalah air limbah kahatex, air limbah kokita dan air
bersih/minum. Bakteri yang diprediksi tumbuh pada air limbah industry kahatex,
dan air limbah kokita berupa bakteri proteolitik, contohnya: Staphyllococcus sp. Bakteri proteolitik adalah bakteri yang memproduksi enzim protease
ekstraselular, enzim protease ini diproduksi di dalam sel kemudian dilepaskan
ke mediumnya. Semua bakteri mempunyai enzim protease di dalam sel, namun tidak
semua enzim protease tersebut dilepaskan ke mediumnya
(Suriawiria,1986). Bakteri
yang diprediksi tumbuh pada air kokita adalah bakteri E. coli dan Salmonella sp.
Bakteri yang diprediksi tumbuh pada air bersih/minum yaitu bakteri E. coli dan Salmonella,sp. Bakteri yang diprediksi tumbuh pada air kahatex yaitu
Eschericia
coli, Enterrobacter aerogenes, Citrobacter fruendii, Shigella, dan Salmonella. Khamir yang diprediksi tumbuh pada air kahatex yaitu Aspergillus spp, Penicillium spp.,
Pythiopsis, Saprolegnia parasitica, Isoachlya, Leptolegnia, Candida spp,
dan Rhodotorulla spp. Semakin banyak mikroorganisme pada limbah, semakin
tidak baik limbah tersebut, dapat membawa penyakit.
Ada kesalahan pada pertumbuhan mikroba pada
air minum/bersih Seharusnya dalam air minum tidak ada cemaran bakteri, Hal
tersebut dapat terjadi karena adanya lingkungan maupun dari alat yang digunakan
oleh praktikan kurang bersih sehingga dapat menambah kontaminan yang tadinya
netral atau tidak terdapat bakteri menjadi ada karena terkontaminasi. Oleh
sebab itu, praktikan diharapkan menggunakan masker, sarung tangan, dan
membersihkan tempat praktikum dengan alkohol sebelum bekerja.
Dengan adanya bahan limbah
(makanan), metabolisme mikroba akan berlangsung memproduksi sel-sel baru dan energi
serta padatan mikroba akan meningkat. Bila tidak ada makanan, respirasi endogen
akan berlangsung lebih banyak dan akan terjadi pengurangan padatan mikroorganisme.
4.5 Pengujian Bakteri Koliform
Kelompok bakteri pencemar yang hidup pada air yang
kotor atau tercemar misalnya bakteri golongan Coli menunjukkan bahwa air tersebut tercemar bakteri fekal (kotoran
manusia) karena bakteri E. coli berasal
dari tinja khususnya manusia (Suriawiria, 1986). Mikroorganisme ini termasuk ke
dalam spesies yang bergerak dengan menggunakan flagel dan mampu mengadakan fermentasi terhadap laktosa,
serta menghasilkan karbondioksida, hidrogen, ataupun asam organik (Kasmidjo,
1991).
Pencemaran limbah dengan bakteri
fekal sangat berbahaya baik ditinjau dari segi estetika, kebersihan maupun
sanitasi. Jika di dalam 100 ml air minum terdapat 500 bakteri E. coli, kemungkinan dapat menyebabkan
penyakit gastroenteritis yang segera diikuti oleh demam tifus dan dapat
menyebabkan diare, septimia, peritonistis, meningistis, dan infeksi-infeksi
lainnya (Suriawiria, 1986).
Pengujian
praktikum kali ini menggunakan metode Most
Probable Number (MPN). Penghitungan mikroba dengan teknik MPN merupakan
kombinasi antara pertumbuhan populasi mikroba dan Tabel Mc Crady. Teknik MPN
didasarkan pada pengenceran sampel. Prinsipnya, bila sampel diencerkan terus
menerus maka akhirnya akan diperoleh larutan yang tidak mengandung mikroba (steril).
Teknik ini akan memberikan hasil baik bila asumsinya terpenuhi, yaitu;
- Sel mikroba tersebar merata dalam contoh dimana
gaya tarik atau tolak diantaramikroba tidak terjadi
- Larutan yang diinokulasi ke kaldu nutrien akan
memperlihatkan pertumbuhan positif apabila mengandung satu atau lebih
mikroba hidup;
- Terhindar dari pencemaran yang berasal dari bahan
dan peralatan (Afrianto, 2008).
Bakteri koliform merupakan bakteri yang
dijadikan sebagai bakteri indikator (penanda) adanya polusi atau cemaran pada
air. Bakteri koliform juga dijadikan indikator terhadap kualitas air. Pada
pengujian ini kita akan menghitung jumlah bakteri koliform yang ada pada sampel
limbah. Pengujian ini dilakukan menggunakan metode MPN (Most Probable Number) untuk menghitung angka yang paling mungkin
bagi pertumbuhan koliform. MPN adalah suatu metode enumerasi mikroorganisme
yang menggunakan data dari hasil pertumbuhan mikroorganisme pada medium cair
spesifik dalam seri tabung yang ditanam dari sampel padat atau cair berdasarkan
jumlah sampel atau diencerkan menurut tingkat seri tabungnya sehingga
dihasilkan kisaran jumlah mikroorganisme yang diuji dalam nilai MPN/satuan
volume atau massa sampel.
Metode MPN menggunakan medium cair di dalam tabung
reaksi, dimana perhitungan dilakukan berdasarkan jumlah tabung positif, yaitu
yang ditumbuhi oleh mikroba setelah inkubasi pada suhu dan waktu tertentu.
Pengamatan tabung yang positif dapat dilihat dengan mengamati timbulnya
kekeruhan atau terbentuknya gas didalam tabung durham untuk mikroba pembentuk
gas. Pada umumnya untuk setiap pengenceran digunakan tiga atau lima seri
tabung. Lebih banyak tabung yang digunakan menunjukkan ketelitian yang lebih
tinggi, namun alat tabung yang digunakan juga akan lebih banyak. Dalam metode
MPN, pengenceran harus dilakukan sedemikian rupa sehingga beberapa tabung yang
berisi medium cair yang diinokulasikan dengan larutan hasil pengenceran
tersebut mengandung satu sel mikroba, beberapa tabung mungkin mengandung lebih
dari satu sel, sedangkan tabung lainnya tidak mengandung sel. Dengan demikian,
setelah inkubasi diharapkan terjadi pertumbuhan pada beberapatabung yang
dinyatakan sebagai tabung positif, sedangkan tabung lainnya negatif (Fardiaz,
1993).
Penggunaan media selektif dan diferensial sangat membantu mempercepat
usaha pemeriksaan air guna mendeteksi organisme coliform.
Pemeriksaan
tersebut terdiridari 3 langkah berurutan :
1. Uji Pendugaan (Presumptive Test)
2.
Uji Lanjutan/penguat (Confirmed Test)
3.
Uji Pelengkap (Complete Test)
Beberapa metode untuk mengetahui jumlah koliform pada sampel
diantaranya adalah metode MPN, metode hitung cawan (SPC), dan metode Millipore membran filter (MF). Metode
yang digunakan pada saat praktikum yaitu metode MPN. Metode ini lebih baik
dilakukan karena lebih sensitif dan dapat mendeteksi koliform dalam jumlah yang
sangat rendah dalam sampel,
kemudian dalam praktikum kali ini pengujian hanya dilakukan sampai uji
lanjutan/ penguat saja dengan tujuan agar praktikum tidak terlalu lama.
4. 5.1 Uji Penduga
Medium yang digunakan dalam praktikum ini berupa,
medium LBDS (Lactose Broth Double
Strenght) dan medium LBSS (Lactose
Broth Single Strenght). Medium LBDS dan LBSS ditambahan NR (Neutral Red) yang bertujuan sebagai
indikator asam sehingga warna LBDS dan LBSS akan berubah, jika terdapat koliform
di dalamnya karena koliform. Hal ini terjadi karena adanya ekskresi asam saat
bereaksi dengan LBDS dan LBSS. LBDS dimasukan ke dalam 3 tabung reaksi besar
dan LBSS dimasukan ke dalam 6 tabung reaksi kecil. Tabung durham dimasukkan ke
masing-masing tabung reaksi. Tabung durham sebagai indikator ada atau tidaknya
bakteri coliform pada sampel yang
diuji. Jika positif mengandung koliform, maka akan ditemukan gelembung udara.
Tabung reaksi besar yang berisi medium LBDS sebanyak 3
buah masing-masing dimasukkan sampel sebanyak 10 ml dengan menggunakan pipet
ukur dan tabung reaksi kecil yang berisi
medium LBSS dimasukkan sampel sebanyak 3 buah dimasukkan sampel 1 ml dengan
menggunakan Finnpipette. Tabung
reaksi yang berisi medium LBSS dimasukkan sampel sebanyak 0,1 ml menggunakan
pipet ukur. Tabung reaksi yang telah dimasukkan sampel, lalu diinkubasi pada
suhu 37o C selama 48 jam. Suhu 37o C merupakan suhu
optimum bagi pertumbuhan bakteri coliform.
Keberadaan bakteri coliform pada
sampel diukur ketika terjadi perubahan kekeruhan atau warna larutan.
Menurut Surawiria (1993), jika sampel limbah yang
dimasukkan ke dalam tabung durham menunjukkan adanya gelembung-gelembung gas,
maka dapat dikatakan positif dan limbah
tersebut dikatakan tercemar. Gas yang terkandung pada limbah tersebut diduga
berasal dari sel-sel mikroorganisme sehingga untuk memastikannya dilakukan
pengujian yang kedua, yaitu uji penguat. Hasil pengamatan menunjukan bahwa
semua sampel tercemar.
Sampel
air limbah tahu menunjukan seri 3 3 3, memiliki nilai MPN < 24,00ml. Sampel
air kahatex memliki seri 3 3 3, memiliki nilai < 24,00ml. Sampel air kokita
memliki seri 3 3 3, memiliki nilai MPN < 24,00 ml. Sampel air selokan seri 3
3 3 memiliki nilai < 24,00 MPN/100 ml dan sampel air bersih/minum seri 0 0
0, memiliki nilai MPN 0,03.
Air bersih/air minum memiliki nilai MPN yang paling
rendah. Hal tersebut dapat dikarenakan air bersih telah melalui proses
pemanasan dan pensterilan sehingga kandungan zat pencemar dan bakteri yang ada
didalamnya mati, oleh karena itu sehingga air minum aman untuk diminum atau
dikonsumsi oleh karena itu ketika di lakukan uji kandungan kimia pada LBSS dan
LBDS-nya mati. Berdasarkan hasil pengamatan, kandungan zat pencemar paling
banyak terdapat air selokan,air kahatex, air kokita dan air tahu. Urutan MPN
dari yang paling besar ke kecil adalah air selokan,air kahatex, air kokita, air
tahu, dan air bersih.
4.5.2 Uji Penguat
Uji
penguat dilakukan setelah uji penduga dinyatakan positif. seperti yang
diketahui bahwa hampir semua sampel dinyatakan positif kecuali air bersih tidak
dilakukan uji penguat karena hasil sebelumnya menunjukan hasil yang negative. Uji
penguat dilakukan dengan mengambil larutan yang positif menggunakan ose steril, lalu digoreskan ke
atas agar EMB yang sudah membeku (metode gores). Inkubasi cawan petri dengan
suhu 37°C selama 3 hari. Setelah 3 hari, dilakukan pengamatan pertumbuhan mikrobanya.
Media Eosin
Methylene Blue mempunyai keistimewaan mengandung laktosa dan berfungsi
untuk memilah mikroba yang memfermentasikan laktosa seperti S. aureus, P. aerugenosa, dan Salmonella. Mikroba yang memfermentasi
laktosa menghasilkan koloni dengan inti berwarna gelap dengan kilap logam.
Sedangkan mikroba lain yang dapat tumbuh koloninya tidak berwarna. Adanya eosin
dan metilen blue membantu mempertajam
perbedaan tersebut. Namun demikian, jika media ini digunakan pada tahap awal
karena kuman lain juga tumbuh terutama P.
Aerugenosa dan Salmonella sp
dapat menimbulkan keraguan. Bagaiamanapun media ini sangat baik untuk mengkonfirmasi
bahwa kontaminan tersebut adalah E.coli.
Agar EMB merupakan media padat yang dapat digunakan
untuk menentukan jenis bakteri coli dengan memberikan hasil positif dalam
tabung. EMB yang menggunakan eosin dan metilin bklue sebagai indikator memberikan
perbedaan yang nyata antara koloni yang meragikan laktosa dan yang tidak.
Medium tersebut mengandung sukrosa karena kemempuan bakteri koli yang lebih
cepat meragikan sukrosa daripada laktosa.
Suriawiria (1986) menyatakan bahwa uji penguat ini
dilakukan untuk menguji ada atau tidaknya bakteri E.coli yang menunjuk pada sifat fekal. Jika setelah masa inkubasi
sekitar dua hari tumbuh koloni berwarna hijau metalik pada sampel, maka bahan
dikatakan tercemar bakteri E.coli. Hasil pengamatan menunjukan adanya pertumbuhan
bakteri fekal dan non fekal pada sampel air kahatex dan, air air selokan.
Bakteri fekal berbentuk bulat dan berwarna merah kehijauan. Ketika positif
adanya pertumbuhan bakteri fekal, maka pengujian dilanjutkan dengan uji
pelengkap. Sedangkan sampel lain terdapat
bakteri non fekal saja yaitu limbah air tahu dan air Kokita.
Bakteri
coliform ialah bakteri yang tumbuh
pada air yang kotor dan menjadi mikroorganisme polutan penyebab berbagai macam
penyakit. Jika dilihat dari asal usul dan juga karakter limbah yang positif
terdapat coliform, sampel limbah ini
memiliki total mikroorganisme yang cukup tinggi. Pertumbuhan bakteri coliform akan sangat sesuai dengan
kondisi air limbah industri dan air selokan yang banyak mengandung padatan
terlarut dan senyawa organik yang tinggi. Salah satu jenis bakteri coliform, yaitu E. Coli merupakan bakteri yang sering tumbuh pada kotoran hewan dan
manusia yang sering ditemukan pada saluran pembuangan seperti selokan dan juga
sungai. Hal ini juga menandakan bahwa sampel yang kita uji mengandung bakteri coliform yang dapat menyebabkan penyakit
sehingga kita perlu hati-hati lagi dalam penggunaannya. Selain itu diperlukan
juga proses penanganan lanjutan untuk penanganan limbah yang memiliki bakteri
patogen seperti coliform.
Berikut
adalah tabel 6 pengujian bakteri koliform uji penduga dan uji penguat
Tabel 6 pengujian bakteri koliform uji penduga dan
uji penguat
Limbah
|
Uji Penduga
|
Nilai MPN
|
Uji Penguat
|
LBDS 10
|
LBSS 1
|
LBSS 0,1
|
Air Bersih
|
0
|
0
|
0
|
0,03
|
Tidak dilakukan
|
Air Selokan
|
3
|
3
|
3
|
< 24,00
|
Fekal, non fekal
|
Air Kokita
|
3
|
3
|
3
|
< 24,00
|
Non fekal
|
Air Kahatex
|
3
|
3
|
3
|
< 24,00
|
Fekal, non fekal
|
Air Tahu
|
3
|
3
|
3
|
< 24,00
|
Non fekal
|
(Hasil dokumentasi pribadi,2016)
4.6 Pengujian Bakteri Salmonella-Shigella
Bakteri Salmonella–Shighella
merupakan salah satu jenis bakteri enteropogenik yang dapat menyebabkan infeksi
gastrointestinal atau penyebab penyakit pada saluran pencernaan, seperti tifus
oleh Salmonella typhi, paratipus oleh
Salmonella paratyphus, dan disentri
oleh Shigella dysentriae. Keberadaan
jenis–jenis bakteri tersebut pada air minum yang terkontaminasi limbah dapat
menyebabkan wabah penyakit yang perlu ditangani secara serius
(Schlegel, 1994).
Salmonella dan Shigella merupakan jenis bakteri pathogen yang berbahaya. Keduanya
biasa ditemukan pada bahan pangan kaya akan nutrisi. Salmonella dikenal sering
menyebabkan penyakit
tifus (S. Typhi),
tetapi sebenarnya banyak penyakit yang disebabkan olehnya. Pengujian Salmonella pada media SSA (Salmonella Shigella Agar) ditandai dengan adanya bintik-bintik
berwarna hitam, sedangkan untuk Shigella akan berwarna merah muda (pink).
Warna hitam pada pengujian Salmonella berasal dari H2S yang
dikeluarkan oleh Salmonella itu sendiri yang mengandung sulfur yang
mengakibatkan mengeluarkan warna hitam. Media SSA (Salmonella Shigella Agar) digunakan karena lebih spesifik untuk tumbuhnya Salmonella dan
Shigella dibandingkan dengan media
lain karena fungsinya sebagai pengaya agar mikroorganisme tersebut dapat tumbuh
dengan baik.
Pengujian Salmonella
digunakan media Tetrathionate Broth
(TTB) yang dicampurkan dengan sampel. Selanjutnya, inkubasi dilakukan selama
12-16 jam pada suhu 35°C selama 12-16 jam. Waktunya harus tepat karena jika
lebih dari waktu tersebut maka bakteri lain yang akan tumbuh, seperti bakteri coliform. Tahapan seleksi dan isolasi
digunakan media Salmonella-Shigella
Agar (SS Agar) dan metode gores kuadran, lalu dilakukan inkubasi selama 24 jam
selama 35°C serta diamati koloni yang tumbuh. Koloni yang berwarna hitam maka
koloni tersebut yaitu Salmonella, sedangkan
apabila koloni yang terbentuk berwarna merah muda
maka koloni tersebut adalah Shigella.
SSA adalah media selektif
diferensial yang digunakan untuk menumbuhkan bakteri Salmonella dan Shigella. Media ini
tergolong selektif karena terdiri dari bile salt yang
berguna untuk menghambat pertumbuhan bakteri gram positif dan beberapa gram
negatif, sehingga diharapkan bakteri yang tumbuh hanya Salmonella. Media
ini digolongkan menjadi media diferensial karena dapat membedakan bakteri Salmonella dengan
bakteri lainnya dengan cara memberikan tiga jenis karbohidrat pada media, yaitu
laktosa, glukosa, dan salisin, dengan komposisi laktosa yang paling tinggi (Harijoto
dan Widjowati, 1977).
Medium SS agar termasuk medium selektif,
yaitu medium yang hanya ditumbuhi oleh jenis mikroba tertentu dalam hal ini
adalah bakteri Salmonella dan Shigella. Bahan
utama untuk medium SS yaitu lactose, bile
salts, ferric citrate, dan neutral
red. Lactose berfunsi untuk
menunjukan bakteri yang memfermentasi laktosa atau tidak. Bile Salts berfungsi untuk menghalangi pertumbuhan suatu
organisme gram positif. Ferric Citrate sebagai besi kompleks yang menunjukkan
hidrogen sulfida. Neutral Red sebagai indikator yang bereaksi dengan
asam-produk akhir.
Metode yang digunakan adalah metode
gores kuadran dimana metode kuadran adalah salah satu metode yang tidak
menggunakan petak contoh (plotless) metode ini sangat baik untuk menduga
komunitas yang berbentuk pohon dan tihang, contohnya vegetasi hutan. Metode
kuadran mudah dan lebih cepat digunakan untuk mengetahui komposisi, dominansi
pohon dan menaksir volumenya, kelebihan dari metode gores kuadran (strike
plate) ini yaitu praktis, hemat biaya dan waktu, hanya membutuhkan
keterampilan. Kelemahan atau kesalahan yang umum dilakukan dalam metode ini
antara lain yaitu tidak memanfaatkan permukaan medium untuk digores sehingga
pengenceran kurang optimal, penggunaan inoculum terlalu banyak sehingga
menyulitkan pemisahan sel waktu digores. Oleh sebab itu praktikan diharapkan
harus lebih hati-hati dan lebih memahami dari metode gores kuadran ini agar
kesalahan yang timbul ketika praktikum dapat di minimalisir.
Berikut adalah tabel 7 hasil pengamatan pengujian
bakteri salmonella dan shigella pada sampel
Tabel 7 hasil
pengamatan pengujian bakteri salmonella dan shigella
(Hasil
dokumentasi pribadi,2016)
Sampel air limbah tahu positif Salmonella dan positif Shigella. Sampel air kahatex positif Salmonella dan negatif Shigella. Sampel air kokita positif Salmonella dan positif Shigella. Sampel air bersih/minum negatif
Salmonella dan
positif Shigella. Sampel
air selokan positif Salmonella dan
positif Shigella.
Salmonella dan
Shigella dijadikan indikator keamanan
pangan karena mikroorganisme ini merupaka mikroorganisme patogen pada makanan. Kedua mikroorganisme ini juga merupakan mikroorganisme
patogen yang sering ditemukan pada produk pangan tertentu. Mikroorganisme
patogen dapat dibedakan atas mikroorganisme penyebab infeksi dan penyebab
keracunan makanan (intoksinasi).
Salmonella
adalah suatu genus bakteri enterobakteria gram-negatif berbentuk tongkat yang
menyebabkan tifoid, paratifod, dan penyakit foodborne.
Spesies-spesies Salmonella dapat
bergerak bebas dan menghasilkan hidrogen sulfida. Salmonella dinamai dari Daniel Edward Salmon, ahli patologi
Amerika, walaupun sebenarnya, rekannya Theobald Smith (yang terkenal akan
hasilnya pada anafilaksis) yang pertama kali menemukan bakterium tahun 1885
pada tubuh babi.
Gambar 2. Salmonella
(Foodinfo,
2016)
Shigella adalah
genus dari gram-negatif , nonspora pembentuk , non-motil, berbentuk batang
bakteri erat kaitannya dengan Escherichia
coli dan Salmonella. Agen
penyebab manusia Shigellosis, Shigella menyebabkan penyakit pada primata,
tetapi tidak pada mamalia lainnya. Hal ini hanya secara alami ditemukan pada
manusia dan kera. Selama infeksi, biasanya menyebabkan disentri. Genus ini
dinamai Kiyoshi Shiga, yang pertama kali menemukannya pada tahun 1898.
Gambar 3. Shigella
(Foodinfo,
2016)
Sebenarnya cemaran dalam air bersih atau
air minum tersebut tidak boleh mengandung bakteri shigella karena dapat
menimbulkan penyakit, sebenarnya ada kemungkinan shigella dapat tumbuh dan
masuk pada media EMB air minum salah satunya bisa lewat alat yang kurang
aseptis atau lewat udara kemungkinan lainya juga bisa ketika menggoreskan
dengan metode kuadran oleh karena itu Jika ingin menggukan air bersih untuk
memasak, air harus dididihkan terlebih dahulu untuk mematikan bakteri Salmonella dan Shigella terlebih dahulu. Air kahatex, kokita, dan air limbah tahu
sangat tidak disarankan untuk digunakan memproses suatu makanan. Dwidjoseputro
(2003) menyatakan bahwa adanya
bakteri Shigella dan Salmonella disebabkan limbah cair merupakan medium pembawa mikroorganisme
patogenik yang berbahaya bagi kesehatan. Patogen yang sering ditemukan di dalam
air terutama adalah bakteri-bakteri penyebab infeksi saluran pencernaan
seperti Vibrio cholerae penyebab penyakit kolera, Shigella
dysenteriae penyebab disenteri basiler, Salmonella typosa penyebab
tifus, dan S. paratyphi penyebab paratifus. Untuk mencegah
penyebaran penyakit melalui air perlu dilakukan kontrol terhadap polusi air.
Dapat disimpulkan bahwa sampel-sampel
diatas dapat menyebabkan penyakit pada saluran pencernaan jika dikonsumsi
langsung. Semua sampel ini jika digunakan
kembali atau dikonsumsi akan menyebabkan penyakit patogenik, maka dari itu
dilakukan proses lanjutan seperti pemanasan dan lain-lain jika ingin digunakan.
V. KESIMPULAN
-
Semua warna limbah yang
diuji keruh, kecuali air bersih.
-
Bau air
limbah tahu khas tahu, bau air bersih tidak berbau, bau air selokan bau amonia,
dan bau air bau air kokita bau sambal busuk.
-
Suhu
tertinggi pada air limbah kokita (30oC) dan suhu terendah pada air selokan
(25oC).
-
pH sampel
yang diuji pada umumnya bersifat basa kecuali pada air limbah tahu dan netral
pada air bersih.
-
Setiap
limbah memiliki endapan yang terdiri dari partikel yang berukuran besar dan
kecil.
-
COD tertinggi pada air selokan
3360ppm, terendah pada air bersih 0ppm.
-
Semakin
besar nilai COD menunjukkan semakin tinggi pula beban cemaran yang ada pada
limbah cair sehingga menunjukkan kualitas limbah semakin buruk karena tingginya
COD menunjukkan semakin banyak oksigen yang dibutuhkan untuk mendegradasi
zat-zat organik.
-
Semakin banyak mikroorganisme dalam sampel, semakin buruk pula kualitas
air.
-
Semakin rendah nilai
BOD, semakin baik kualitas air, begitu pula sebaliknya, semakin tinggi nilai
BOD semakin buruk kualitas air.
-
Berbeda dengan DO,
semakin tinggi nilai DO semakin baik kualitas air, begitupula sebaliknya,
semakin rendah nilai DO semakin buruk pula kualitas air.
-
Urutan MPN dari yang paling besar ke kecil adalah air Sungai Cidurian-air
selokan Ciseke- air Arboretum, air keran Gedung 4, dan air limbah tahu.
-
Adanya pertumbuhan bakteri fekal pada sampel air selokan, air kahatex.
-
Berdasarkan pewarnaan gram, bakteri
yang ditemukan Sampel air
limbah tahu positif Salmonella dan
positif Shigella. Sampel air kahatex
positif Salmonella dan negatif Shigella. Sampel air kokita positif Salmonella dan positif Shigella. Sampel air bersih/minum
negatif Salmonella dan positif Shigella. Sampel air selokan positif Salmonella dan positif Shigella.
DAFTAR
PUSTAKA
Afrianto, E. 2008. Pengawasan
Mutu Bahan/Produk Pangan Jilid 2 untuk SMK. Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah
Kejuruan.Jakarta:Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah,
Departemen Pendidikan Nasional.
Alaerts, G. 1984.
Metoda Penelitian Air. Surabaya : Usaha Nasional.
Anonima.
2010. Air Limbah dan Pengelolaannya. Available online at: http://www.smallcrab.com/
(diakses pada tanggal 19 Desember 2013
pukul 22.16 WIB).
Anonimb.
2010. Sifat Fisik Air Limbah. Available online at: http://id.shvoong.com/exact-sciences/biology/2225663-sifat-fisik-air-limbah/(diakses
pada tanggal 19 Desember 2013 pukul 22.00
WIB).
Djajadiningrat, A.
1999. Pengolahan Limbah Cair.
Bandung:Penelitian Pengelolaan Limbah ITB.
Dwidjoseputro.2003. Dasar-Dasar
Mikrobiologi. Jakarta: Penerbit Djambatan.
Fardiaz, S. 1993. Mikrobiologi
Pangan 1. Jakarta:PT. Gramedia Pustaka Utama
Bekerja Sama dengan PAU Pangan dan Gizi IPB.
Ficca. 2009.Oksigen Terlarut (DO) dan
Kebutuhan. Available online at: http://biarkanakumenulisilmu.com/2009/10/Oksigen-terlarut-do-dan-kebutuhan
(diakses pada tanggal 21 Desember 2012 jam 22.30 WIB).
Foodinfo.2012.
Salmonella sp. Available online at: http://www.food-info.net/id/bact/salm.htm
(diakses 26 Desember 2013 jam 22.30 WIB).
Ginting, P.
1992. Sistem Pengelolaan Lingkungan dan Limbah Industri. Bandung: Yrama Widya.
Harijoto dan
Widjowati. 1977. Pemeriksaan Mikrobiologis Air Minum Isi Ulang di Kecamatan
Jebres:Surakarta (Jurnal).
Jenie, B. S. L. 1990.
Sanitasi Dalam Industri Pangan. Bogor: PAU IPB dan LSI IPB.
Kasmidjo,
R.B. 1991. Penggunaan
Limbah Pertanian Pangan dan gizi. Yogyakarta:UGM.
PESCOD, M.
D. 1973. Investigation of Rational Effluen and Stream Standards for Tropical
Countries. Bangkok:A.I.T.
Said, N.I.,
Haryoto, I., Nugro, R., dan Arie, H. 2012. Teknologi Pengolahan Limbah Tahu -
Tempe dengan Proses Biolfilter Anaerob dan Aerob. Jakarta:Bidang Teknologi
Informasi Energi dan Material.
Sumanti, D
dan Tita, R. 2010. Penanganan Limbah Industri Pangan. Jatinangor: Jurusan
Teknologi Industri Pangan Universitas Padjadjaran.
Ratna, S. 2009.
Kualitas Air Sungai Cisadane Jawa Barat-Banten. Jurnal Ilmiah Sains. Vol. 11
(2). Bogor: IPB.
Schlegel,
H.1994.Mikrobiologi Umum. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Silalahi, J. 2009. Analisis Kualitas Air dan
Hubungannya dengan Keanekaragaman Vegetasi Akuatik di Perairan Balige Danau Toba.
Medan:Universitas Sumatera Utara.
Sudarmadji, S., B.
Haryono dan Suhardi, 1997. Prosedur Analisa untuk Bahan Makanan. Yogyakarta:
Liberty.
Suriawiria, U. 1986. Buku Materi Pokok
Mikrobiologi. Jakarta:Penerbit Karunika.
Wirosarjono,
S. 1974. Masalah-masalah yang Dihadapi dalam Penyusunan Kriteria Kualitas Air
Guna Berbagai Peruntukan. Bandung: Lembaga Ekologi UNPAD.