Friday, June 24, 2016

Laporan praktikum Kimia Pangan (BTM/BTP)



Yoga Jati Pratama
240210140003
Kelompok 1A Universitas Padjadjaran
 
IV.       HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN

Bahan tambahan makanan atau bahan tambahan pangan (BTP) adalah bahan atau campuran bahan yang secara alami bukan merupakan bagian dari bahan baku pangan, tetapi ditambahkan ke dalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk bahan pangan. BTP ditambahkan untuk memperbaiki karakter pangan agar kualitasnya meningkat. Pemakaian BTP merupakan salah satu langkah teknologi yang diterapkan oleh industri pangan berbagai skala. Sebagaimana langkah teknologi lain, maka risiko-risiko kesalahan dan penyalahgunaan tidak dapat dikesampingkan. BTP pada umumnya merupakan bahan kimia yang telah diteliti dan diuji lama sesuai dengan kaidah – kaidah ilmiah yang ada. Pemerintah telah mengeluarkan aturan-aturan pemakaian BTP secara optimal (Syah, 2005).
Bahan tambahan pangan adalah bahan yang biasanya tidak digunakan sebagai pangan dan bukan merupakan ingredient khas pangan, mempunyai/tidak nilai gizi yang dengan sengaja ditambahkan ke dalam bahan pangan untuk maksud teknologi (termasuk orlep) pada pembuatan, pengolahan, penyediaan, perlakuan, pewadahan, pembungkusan, penyimpanan & pengangkutan pangan untuk menghasilkan/ diharapkan menghasilkan langsung/tidak langsung) suatu komponen pangan/mempengaruhi sifat khas pangan.
Di Negara maju, suatu zat pewarna buatan harus melalui perlakuan pemberian asam sulfat atau asam nitrat yang seringkali terkontaminasi oleh arsen atau logam berat lain yang bersifat racun. Pada pembuatan zat pewarna organik sebelum mencapai produk akhir, harus melalui suatu senyawa dulu yang kadang-kadang berbahaya dan seringkali tertinggal dalam hal akhir, atau terbentuk senyawa-senyawa baru yang berbahaya (Baroroh, 2003).
Namun sering sekali terjadi penyalahgunaan pemakaian pewarna untuk sembarang bahan pangan, misalnya zat pewarna tekstil dan kulit untuk mewarnai bahan pangan. Bahan tambahan pangan yang ditemukan adalah pewarna yang berbahaya terhadap kesehatan seperti Amarant, Auramin, Methanyl Yellow, dan Rhodamin B. Jenis-jenis makanan jajanan yang ditemukan mengandung bahan-bahan berbahaya ini antara lain sirup, saus, bakpau, kue basah, pisang goring, tahu, kerupuk, es cendol, mie dan manisan.
Timbulnya penyalahgunaan bahan tersebut disebabkan karena ketidaktahuan masyarakat mengenai zat pewarna untuk pangan, dan juga disebabkan karena harga zat pewarna untuk industri lebih murah dibanding dengan harga zat pewarna untuk pangan.
Tujuan penambahan BTM secara umum adalah untuk:
1.        Meningkatkan nilai gizi makanan.
2.        Memperbaiki nilai sensori makanan.
3.        Memperpanjang umur simpan (shelf life) makanan.
4.        Sering digunakan untuk memproduksi makanan untuk kelompok konsumen khusus, seperti penderita diabetes, pasien yang baru mengalami operasi, orang-orang yang menjalankan diet rendah kalori atau rendah lemak, dan sebagainya. (Brady, 1993).
            Pada praktikum kali ini dilakukan percobaan dengan mengidentifikasi bahan tambahan makanan yang berbahaya yaitu, boraks, formalin dan identifikasi warna. Sampel yang digunakan adalah mie basah, sosis, bakso, dan tahu. Berikut ini adalah hasil pengamatan deskripsi sampel serta hasil pengamatan uji
Tabel 1. Deskripsi Sampel kelas TPN - A
Kel
Sampel
Warna
Aroma
Kecerahan
Kekenyalan
Kekerasan
1,6
Mie Basah
Kuning cerah
Aroma mie +
++
+
Keras
2,7
Agar-agar
Ungu
Khas Agar
++
+
-
3,8
Tahu
Kuning
Bau kedelai
++
-
-
4. 9
Terasi
Merah ati
Terasi
+++
-
++
5,10
Ketupat
Putih
Ketupat
+
++
+
Sumber: Dokumentasi Pribadi,2015

Tabel 2. Deskripsi Sampel TPN - B
Kel
Sampel
Warna
Aroma
Kecerahan
Kekenyalan
Kekerasan
1,6
Nugget
Oranye
Bau busuk
++
++
+++
2,7
Dendeng
Merah tua
Khas dendeng
-
++
+
3,8
Kornet
Merah  muda
Khas kornet
+
+
+
4. 9
Baso Sapi
Abu-abu
Bau daging sapi
-
+++
++
5,10
Ikan asin
coklat
Ikan asin
-
+
+++







(Sumber: Dokumentasi Pribadi,2015)

4.1              Identifikasi pewarna
Tabel 3. Identifikasi Pewarna Tekstil dan Boraks TPN - A
Kel
Sampel
Pewarna
Boraks
1,6
Mie Basah
+
+++
2,7
Agar- agar
-
+
3,8
Tahu
-
++
4. 9
Terasi
++
-
5 ,10
Ketupat
-
++++
Sumber: Dokumentasi Pribadi,2015

Tabel  4. Identifikasi Pewarna Tekstil dan Boraks TPN - B
Kel
Sampel
Pewarna
Boraks
 1, 6
Mie basah
(+) tekstil
+ + +
 2, 7
Agar
(-) alami
+
 3, 8
Tahu
(-) alami
+ +
 4. 9
Terasi
(+) tekstil
-
 5, 10
Ketupat
(-) alami
+ + + +
11, 16
Nugget
-
+++
12, 17
Dendeng
-
+
13, 18
Kornet
-
++
14. 19
Baso Sapi
-
++
15 ,20
Ikan asin
-
+++
(Sumber: Dokumentasi Pribadi,2015)

Bahan pewarna makanan terbagi dalam dua kelompok besar yakni pewarna alami dan pewarna buatan. Di Indonesia, peraturan mengenai penggunaan zat pewarna yang diizinkan dan dilarang untuk pangan diatur melalui SK Menteri Kesehatan RI Nomor 722/Menkes/Per/IX/80 mengenai bahan tambahan pangan. Akan tetapi seringkali terjadi penyalahgunaan pemakaian zat pewarna untuk sembarang bahan pangan, misalnya zat pewarna untuk tekstil dan pakaian dipakai untuk mewarnai bahan pangan. Hal ini jelas sangat berbahaya bagi kesehatan karena adanya residu logam berat pada zat pewarna tersebut.
Timbulnya penyalahgunaan tersebut antara lain disebabkan oleh ketidaktahuan masyarakat mengenai zat pewarna untuk pangan, dan disamping itu harga zat pewarna untuk industri jauh lebih murah dibandingkan dengan harga zat pewarna untuk pangan. Hal ini disebabkan masuk zat pewarna untuk bahan pangan jauh lebih tinggi daripada zat pewarna bahan non pangan. Lagipula warna dari zat pewarna tekstil atau kulit biasanya lebih menarik.
Adapun prosedur yang dilakukan untuk pengujian identifikasi pewarna tersebut pertama-tama sampel dihaluskan kemudian ditimbang sebanyak 5 gram lalu tambahkan air 5ml setelah itu dimasukan kedalam pipet filtrat potong di tabung reaksi berisi air setelah air naik amati jika positif pewarna tekstil akan diam dan jika bukan pewarna tekstil akan bergerak.
Berdasarkan hasil pengamatan diatas dapat disimpulkan bahwa sebagaian sampel yang diuji positif mengandung pewarna tekstil contoh tersebut yang positif menggunakan pewarna tekstil adalah mie basah, dan terasi hal tersebut diketahui dari literature yang menyebutkan bahwa pewarna makanan akan naik dari titik penetesan dan pewarna tekstil tidak akan naik dari titik penetesan. Pewarna makanan akan naik sesuai dengan prinsip kapilaritas karena zat pewarna makanan tersebut larut dalam pelarut aquades, sedangkan pewarna tekstil tidak larut air karena mengandung lemak yang tidak akan larut dalam air. Sedikit kenaikan yang dialami oleh pewarna tekstil merupakan hal yang masih wajar. Kenaikan yang wajar adalah kenaikan yang kurang dari 3 cm. adapun tips untuk menghilangkan noda dari pewarna tekstil tersebut bisa menggunakan metanol dan air panas yang di bilas dan di tuangkan secara berulang-ulang pada pakaian dengan syarat ketika pakaian terkena oleh pewarna tersebut segera di tanggulangi apabila sudah terlalu lama dikhawatirkan warna akan menempel dan menjadi permanen.
Pewarna tekstil yang digunakan sebagai pewarna makanan dapat disebabkan karena menghasilkan karakteristik warna yang lebih stabil bila dibandingkan dengan zat pewarna makanan yang alami. Selain itu, harga pewarna tekstil jauh lebih murah dan mudah mendapatkannya jika dibandingkan dengan pewarna makanan yang alami. Pengetahuan masyarakat umum pun kurang untuk hal-hal seperti ini sehingga mereka tidak mengetahui apa akibat yang akan dihasilkan bila terus menggunakan zat pewarna tekstil sebagai zat pewarna makanan jika dikonsumsi dalam jangka waktu yang panjang.
Pewarna tekstil yang digunakan pada bahan pangan sangatlah berbahaya. Efek negatif dari pewarna tekstil yang digunakan sebagai pewarna makanan adalah menyebabkan gangguan fungsi hati atau menyebabkan timbulnya kanker hati. Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa zat pewarna tersebut memang berbahaya bila digunakan pada makanan. Hasil suatu penelitian menyebutkan bahwa pada uji terhadap mencit (tikus), pewarna tekstil menyebabkan terjadinya perubahan sel hati dari normal menjadi nekrosis dan jaringan di sekitarnya mengalami disintegrasi. Kerusakan pada jaringan hati ditandai dengan adanya piknotik (sel yang melakukan pinositosis) dan hiperkromatik dari nukleus, degenerasi lemak dan sitolisis dari sitoplasma. (Deman, 1995). Ciri-ciri makanan yang menggunakan pewarna tekstil warnanya akan mengkilap dan mencolok, terkadang warna tidak rata, ada gumpalan pada produk bila dikonsumsi rasanya akan sedikit pahit.

4.2       Formalin
Tabel 5. Identifikasi Formalin TPN - A
Sampel
Formalin (+/-)
Terasi
-


Sumber: Dokumentasi Pribadi,2015
Tabel 6. Identifikasi Formalin TPN - B
Sampel
Formalin (+/-)
Baso
+
Tahu
-
(Sumber: Dokumentasi Pribadi,2015)

Percobaan kedua adalah dilakukannya identifikasi formalin. Berdasarkan hasil pengamatan semua sampel yang diujikan pengujian formalin sampel terasi dan tahu negatif tidak mengandung formalin sedangkan sampel baso positif mengandung formalin.
Pengujian ini dilakukan dengan cara destilasi, pertama siapkan 5 gram sampel kemudian masukan kedalam Erlenmeyer tambahkan 100ml air dan masukan pada Erlenmeyer yang ditambahkan 10ml aquades kemudian pasang destilat yang ditambahkan asam fosfat 10% setelah ditambahkan lalu diambil 2 ml destilat untuk kemudian ditambahkan asam kromatofat sebanyak 0,5% dalam asam sulfat 60%. Asam kromatofat digunakan untuk mengikat formalin agar terlepas dari bahan, panaskan air selama 15’, bila positif air akan berubah ungu. Formalin juga bereaksi dengan asam kromatopik menghasilkan senyawa kompleks yang berwarna merah keunguan. Reaksinya dapat dipercepat dengan cara menambahkan asam fosfat dan dan hydrogen peroksida. Caranya bahan yang diduga mengandung formalin ditetesi dengan campuran antara asam kromatopik, asam fosfat, dan hydrogen peroksida. Jika dihasilkan warna merah keunguan maka dapat disimpulkan bahwa bahan tersebut mengandung formalin. Langkah terakhir dilakukan pemanasan hingga terbentuk warna ungu yang menunjukkan hasil positif terhadap formalin.
Distilasi atau penyulingan adalah suatu metode pemisahan bahan kimia berdasarkan perbedaan kecepatan atau kemudahan menguap (volatilitas) bahan atau didefinisikan juga teknik pemisahan kimia yang berdasarkan perbedaan titik didih. Dalam penyulingan, campuran zat dididihkan sehingga menguap, dan uap ini kemudian didinginkan kembali ke dalam bentuk cairan. Zat yang memiliki titik didih lebih rendah akan menguap lebih dulu. Metode ini merupakan termasuk unit operasi kimia jenis perpindahan massa. Penerapan proses ini didasarkan pada teori bahwa pada suatu larutan, masing-masing komponen akan menguap pada titik didihnya. Model ideal distilasi didasarkan pada Hukum Raoult dan Hukum Dalton.
Destilasi sederhana atau destilasi biasa adalah teknik pemisahan kimia untuk memisahkan dua atau lebih komponen yang memiliki perbedaan titik didih yang jauh. Suatu campuran dapat dipisahkan dengan destilasi biasa ini untuk memperoleh senyawa murninya. Senyawa-senyawa yang terdapat dalam campuran akan menguap pada saat mencapai titik didih masing-masing.
Formaldehid (HCOH) merupakan suatu bahan kimia dengan berat molekul 30,03 yang pada suhu kamar dan tekanan atmosfer berbentuk gas tidak berwarna, berbau pedas (menusuk) dan sangat reaktif (mudah terbakar). Bahan ini larut dalam air dan sangat mudah larut dalam etanol dan eter (Moffat, 1986).
Sampel yang digunakan pada pengujian formalin yaitu baso, tahu dan terasi.
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan (MenKes) Nomor 1168/MenKes/PER/X/1999, formalin merupakan bahan kimia yang penggunaannya dilarang untuk produk makanan (Lee, 2006). Formalin adalah nama dagang larutan Formaldehid dalam air dengan kadar 30-40 %. Di pasaran formalin dapat diperoleh dalam bentuk sudah diencerkan, yaitu dengan kadar formaldehidnya 40, 30, 20 dan 10 %, serta dalam bentuk tablet yang beratnya masing-masing sekitar 5 gram. Formalin ini biasanya digunakan sebagai bahan baku industri lem, playwood dan resin, disinfektan untuk pembersih lantai, kapal, gudang dan pakaian; germisida dan fungisida pada tanaman sayuran; serta pembasmi lalat dan serangga lainnya. Larutan dari formaldehida sering dipakai membalsem atau mematikan bakteri serta mengawetkan bangkai.
Dalam jumlah sedikit, formalin akan larut dalam air, serta akan dibuang ke luar bersama cairan tubuh. Sehingga formalin sulit dideteksi keberadaannya di dalam darah. Imunitas tubuh sangat berperan dalam berdampak tidaknya formalin di dalam tubuh. Jika imunitas tubuh rendah atau mekanisme pertahanan tubuh rendah, sangat mungkin formalin dengan kadar rendah pun bisa berdampak buruk terhadap kesehatan. Usia anak khususnya bayi dan balita adalah salah satu yang rentan untuk mengalami gangguan ini. Secara mekanik integritas mukosa (permukaan) usus dan peristaltik (gerakan usus) merupakan pelindung masuknya zat asing masuk ke dalam tubuh. Secara kimiawi asam lambung dan enzim pencernaan menyebabkan denaturasi zat berbahaya tersebut. Secara imunologik sIgA (sekretori Imunoglobulin A) pada permukaan mukosa dan limfosit pada lamina propia dapat menangkal zat asing masuk ke dalam tubuh. Pada usia anak, usus imatur (belum sempurna) atau sistem pertahanan tubuh tersebut masih lemah dan gagal berfungsi sehingga memudahkan bahan berbahaya masuk ke dalam tubuh sulit untuk dikeluarkan. Hal ini juga akan lebih mengganggu pada penderita gangguan saluran cerna yang kronis seperti pada penderita Autism, penderita alergi dan sebagainya.
Formalin jika termakan, dalam jangka pendek tidak menyebabkan keracunan, tetapi jika tertimbun di atas ambang batas dapat mengganggu kesehatan.  International Proggrame on Chemical Safety menetapkan bahwa batas toleransi yang dapat diterima dalam tubuh maksimum 0,1 mg perliter (Khopkar, 2006). Bahaya formalin dalam jangka pendek (akut) adalah apabila tertelan maka mulut, tenggorokan dan perut terasa terbakar, sakit jika menelan, mual, muntah dan diare, kemungkinan terjadi pendarahan, sakit perut yang hebat, sakit kepala, hipotensi (tekanan darah rendah), kejang, tidak sadar hingga koma. Selain itu juga dapat menyebabkan terjadinya kerusakan hati, limpa, pankreas, susunan syaraf pusat dan ginjal. Bahaya jangka panjang adalah iritasi saluran pernafasan, muntah-muntah dan kepala pusing, rasa terbakar pada tenggorokan, penurunan suhu badan dan rasa gatal di dada. Konsumsi formalin pada dosis sangat tinggi dapat mengakibatkan konvulsi (kejang-kejang), haematuri (kencing darah) dan haematomesis (muntah darah) yang berakhir dengan kematian. Injeksi formalin dengan dosis 100 gram dapat mengakibatkan kematian dalam jangka waktu 3 jam (Winarno, 1994). Untuk mengetahui produk yang mengandung formalin yaitu dengan menggunakan kertas indicator dapat diperoleh dari took obat atau apotek. Bila kertas indicator itu berubah setelah dimasukan pada rendaman maka bisa dipastikan makanan tersebut mengandung formalin.

4.2              Boraks
Tabel  7. Identifikasi Boraks TPN - A
Kel
Sampel
Boraks
1,6
Mie Basah
+++
2,7
Agar- agar
+
3,8
Tahu
++
4. 9
Terasi
-
5 ,10
Ketupat
++++
Sumber: Dokumentasi Pribadi,2015

Tabel  8. Identifikasi Boraks TPN - B
Kel
Sampel
Boraks
 1, 6
Mie basah
+ + +
 2, 7
Agar
+
 3, 8
Tahu
+ +
 4. 9
Terasi
-
 5, 10
Ketupat
+ + + +
11, 16
Nugget
+++
12, 17
Dendeng
+
13, 18
Kornet
++
14. 19
Baso Sapi
++
15 ,20
Ikan asin
+++
(Sumber: Dokumentasi Pribadi,2015)

Selanjutnya dilakukan identifikasi boraks. Cara mengidentifikasinya adalah menempatkan sebanyak 1 gram sampel pada cawan porselen. Lalu sampel tersebut diabukan menggunakan tanur selama 2 jam dengan suhu 600o C. Setelah itu didinginkan selama 1 jam, lalu ditambahkan 8 tetes H2SO4 pekat serta 1 ml metanol. Lalu sampel tersebut dibakar atau uji nyala. Hasil pengamatan diatas menunjukan hampir semua sampel positif mengandung boraks kecuali sampel terasi dengan ditujukan jika sampel yang dibakar mengeluarkan api warna hijau sedangkan bila sampel tersebut tidak mengeluarkan api warna hijau dapat disimpulkan bahwa sampel tersebut tidak menggunakan boraks. Uji nyala adalah salah satu metode pengujian untuk mengetahui apakah dalam makanan terdapat boraks atau tidak. Disebut uji nyala karena sampel yang digunakan dibakar uapnya, kemudian warna nyala dibandingkan dengan warna nyala boraks asli. Tentu sebelumnya telah diketahui bahwa serbuk boraks murni dibakar menghasilkan nyala api berwarna hijau. Jika sampel yang dibakan menghasilkan warna nyala hijau maka sampel dinyatakan positif mengandung boraks.
Boraks merupakan garam Natrium yang banyak digunakan dalam berbagai industri non pangan khususnya industri kertas, gelas, pengawet kayu, dan keramik. Gelas pyrex yang terkenal dibuat dengan campuran boraks. Di Indonesia boraks merupakan salah satu bahan tambahan pangan yang dilarang digunakan pada produk makanan, karena asam borat dan senyawanya merupakan senyawa kimia yang mempunyai sifat karsinogen.
Boraks (Na2B4O7.10H2O) dan asam borat (H3BO3) digunakan untuk deterjen, mengurangi kesadahan, dan antiseptik lemah. Boraks merupakan kristal lunak lunak yang mengandung unsur boron, berwarna dan mudah larut dalam air. Ketika asam borat masuk ke dalam tubuh, dapat menyebabkan mual, muntah, diare, sakit perut, penyakit kulit, kerusakan ginjal, kegagalan sistem sirkulasi akut, dan bahkan kematian. Jika tertelan 5-10 g boraks oleh anak-anak bisa menyebabkan shock dan kematian (Sudarmadji, 2003).
 Boraks disalah gunakan untuk pangan dengan tujuan memperbaiki warna, tekstur dan flavor. Boraks banyak disalahgunakan untuk pembuatan mie basah, lontong, bakso, kerupuk, dan gendar.  Boraks bersifat sangat beracun, sehingga peraturan pangan atau peraturan mentri kesehatan No.33 tahun 2012 pasal 3 tentang macam-macam zat yang tidak boleh terkandung dalam produk makanan. tidak membolehkan boraks untuk digunakan dalam pangan. Boraks (Na2B4O7.10H2O) dan asam borat (H3BO3) digunakan untuk deterjen, mengurangi kesadahan, dan antiseptik lemah.
Boraks maupun bleng tidak aman untuk dikonsumsi sebagai makanan. Mengkonsumsi makanan yang mengandung boraks memang tidak serta berakibat buruk terhadap kesehatan tetapi boraks akan menumpuk sedikit demi sedikit karena diserap dalam tubuh konsumen secara kumulatif. Ketika asam borat masuk ke dalam tubuh, dapat menyebabkan mual, muntah, diare, sakit perut, penyakit kulit, kerusakan ginjal, kegagalan sistem sirkulasi akut, dan bahkan kematian. Jika tertelan 5-10g boraks oleh anak-anak bisa menyebabkan shock dan kematian.
Untuk mengidentifikasi secara langsung makanan yang mengandung boraks dapat dilihat dari teksturnya yang kenyal dan aromanya yang tajam.
























V.        KESIMPULAN dan SARAN

5.1 Kesimpulan
·         Pewarna makanan akan naik dari titik penetesan dan pewarna tekstil tidak akan naik dari titik penetesan.
·         Pewarna makanan akan naik sesuai dengan prinsip kapilaritas karena zat pewarna makanan tersebut larut dalam pelarut aquades, sedangkan pewarna tekstil tidak larut air karena mengandung lemak yang tidak akan larut dalam air.
·         Terasi dan mie basah posif mengandung pewarna tekstil.
·         Pada uji formalin sampel baso positif mengandung formalin.
·         Dalam uji boraks hampir semua sampel positif mengandung boraks kecuali sampel terasi.
  • Ciri-ciri makanan yang menggunakan pewarna tekstil warnanya akan mengkilap dan mencolok, terkadang warna tidak rata, ada gumpalan pada produk bila dikonsumsi rasanya akan sedikit pahit.
  • Ciri-ciri makanan yang menggunakan pewarna tekstil warnanya akan mengkilap dan mencolok, terkadang warna tidak rata, ada gumpalan pada produk bila dikonsumsi rasanya akan sedikit pahit.
·         Untuk mengetahui produk yang mengandung formalin yaitu dengan menggunakan kertas indicator dapat diperoleh dari took obat atau apotek. Bila kertas indicator itu berubah setelah dimasukan pada rendaman maka bisa dipastikan makanan tersebut mengandung formalin.

5.2  Saran
·         Praktikan diharapkan lebih teliti dalam melakukan praktikum Bahan tambahan makanan
·         Diharapkan semua praktikan memahami prosedur sesuai dengan literature agar ketika melakukan pengamatan praktikan tidak keliru bagian mana saja yang harus diamati.


DAFTAR PUSTAKA

Baroroh,  U. L. U.  2004.  Kimia Dasar I.  Universitas  Lambung  Mangkurat.
Banjarbaru.

Brady, J. E. 1999. Kimia Universitas Asas & Struktur. Penerbit : Binarupa Aksara, Jakarta.

Deman,J.M.1997. Kimia Makanan. ITB, Bandung.

Khopkar, S. M. 1990. Konsep Dasar Kimia Analitik. Universitas Indonesia, Jakarta.

Lee, L.P., Sherins, R.J. and Dixon, R.L. 1978.  Edevence for induction of germinal aplasia in male rats by environmental exposure to boron.  Toxicol.  Aplly.  Phamacol. 45577590.

Moffat, A. C. (1986). Clarke’s isolation and identification of drugs. Edisi 2. London. The Pharmaceutical Press. Hal. 420-421, 457-458, 849, 932-933.Ngadiwaluyo dan Suharjito, 2003

Sudarmadji, Slamet, H.Bambang, Suhardi. 2003. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty, Yogyakarta.

Winarno, F.G. 1995. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

No comments:

Post a Comment